Negara (sebagai suatu organisasi di suatu wilayah) memiliki
kekuasaan untuk memaksakan kedudukannya secara sah terhadap semua golongan yang
ada dalam wilayah itu dan menetapkan tujuan kehidupan bersama. Negara
berkewajiban menetapkan cara dan batas kekuasaan untuk digunakan dalam
kehidupan bersama, sehingga dapat membimbing berbagai kegiatan penduduk ke arah
tujuan bersama.
Teori Asal kekuasaan negara
1) Teori Teokrasi
Teori Teokrasi Langsung: istilah langsung menunjukkan bahwa yang berkuasa dalam
negara adalah Tuhan secara langsung. Adanya negara di dunia ini adalah atas
kehendak Tuhan dan yang memerintah adalah Tuhan. Pertanyaannya, apakah negara
semacam ini pernah ada dan apakah Tuhan sendiri yang memerintah?
Teori Teokrasi tak Langsung: disebut tak langsung karena bukan
Tuhan sendiri yang memerintah, melainkan raja (atas nama Tuhan). Raja
memerintah atas kehendak Tuhan sebagai karunia. Anggapan ini timbul dalam
sejarah pada sekumpulan manusia yang tergabung dalam partai konvensional
(agama) di negara Belanda. Mereka berpendapat bahwa raja Belanda dan rakyatnya
dihadapkan pada suatu tugas suci (mission sacre) sebagai perintah dari
Tuhan untuk memakmurkan negara Belanda, termasuk daerah jajahannya.
2) Teori Kekuasaan
Sebagaimana sudah diketahui, pelopor teori ini adalah Thomas
Hobbes dan Machiavelli. Dalam bukunya yang berjudul Leviathan, Hobbes
membedakan dua macam status manusia: status naturalis – kedudukan
manusia sewaktu masih belum ada negara dan status civilis – kedudukan
manusia setelah menjadi warga negara suatu negara.
3) Teori Yuridis
Teori
ini hendak mencari dasar hukum kekuasaan negara melalui tiga golongan:
a) Teori Patriarkhal
Teori ini didasarkan pada hukum keluarga. Pada masa
masyarakat hidup dalam kesatuan-kesatuan keluarga besar, kepala keluarga (primus
inter pares = yang utama di antara sesamanya) menjadi pemimpin yang
dipuja-puja karena kekuatannya atau jasa dan atau kebijaksanaannya.
b) Teori Patrimonial
Patrimonial berasal dari istilah patrimonium yang
berarti hak milik. Karena rajalah pemegang hak milik di wilayah kekuasaannya,
maka semua penduduk daerah itu harus tunduk kepadanya. Sekadar contoh, pada
abad pertengahan hak untuk memerintah dan menguasai timbul dari pemilikan
tanah. Dalam keadaan perang sudah menjadi kebiasaan bahwa raja-raja menerima
bantuan dari kaum bangsawan untuk mempertahankan negaranya dari serangan musuh.
Jika perang berakhir dengan kemenangan raja, maka para bangsawan yang ikut
membela negara akan mendapatkan sebidang tanah sebagai tanda jasa.
c) Teori Perjanjian
Teori perjanjian sebagai dasar hukum kekuasaan negara
dikemukakan oleh tiga tokoh terkemuka: Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rousseau.
Mereka hendak mengembalikan kekuasaan raja pada suatu perjanjian masyarakat
yang mengalihkan manusia dari status naturalis ke status civilis.
Menurut Thomas Hobbes, manusia selalu hidup dalam ketakutan
akan diserang oleh manusia lainnya yang lebih kuat. Maka kemudian diadakan
perjanjian masyarakat yang tidak mengikutsertakan raja. Perjanjian diadakan
antarakyat. Dalam perjanjian masyarakat (pactum unionis) itu
individu-individu menyerahkan hak-hak azasinya kepada suatu kolektivitas, yaitu
kesatuan individu-individu. Kolektivitas itu kemudian menyerahkan hak-hak atau
kekuasaannya kepada raja dalam pactum subiectionis tanpa syarat apa pun.
Itulah sebabnya raja berkekuasaan mutlak (monarkhi absolut).
Sedangkan John Locke menyatakan bahwa perjanjian itu diadakan
antara raja dan rakyat, sehingga raja dapat memegang kekuasaannya untuk
melindungi hak-hak rakyat. Kalau raja bertindak sewenang-wenang, rakyat dapat
meminta pertanggungjawabannya, karena yang primer adalah hak-hak azasi yang
harus dilindungi oleh raja. Akibat dari perjanjian antara rakyat dengan raja
itu timbullah monarkhi konstitusional atau monarkhi terbatas karena kedudukan
raja kini dibatasi konstitusi.
Pendapat Rousseau adalah kebalikan dari paham Hobbes.
Menurut Hobbes, pactum unionis itu “ditelan” oleh pactum subiectionis.
Sedangkan menurut Rousseau justru sebaliknya. Tujuan ajaran Rousseau adalah
timbulnya kedaulatan rakyat dan kedaulatan itu tidak pernah diserahkan kepada
raja. Kalau pun raja yang memerintah, sesungguhnya kekuasaan pemerintahan itu
diperolehnya dari rakyat. Raja adalah mandataris rakyat.
Teori Pemisahan Kekuasaan Negara
John Locke adalah orang pertama yang mengemukakan teori
pemisahan kekuasaan negara dalam bukunya “Two Treaties on Civil Government”
(1660). Ia membagi kekuasaan negara menjadi tiga bidang sebagai berikut:
1. Legislatif: kekuasaan untuk membuat
undang-undang;
2. Eksekutif: kekuasaan untuk melaksanakan
undang-undang;
3. Federatif: kekuasaan mengadakan perserikatan
dan aliansi serta segala tindakan dengan semua orang dan badan-badan di luar
negeri.
Diilhami pemikiran John Locke, Montesquieu – seorang
pengarang, filsuf asal Prancis menulis buku “L’Esprit des Lois” (Jenewa,
1748). Di dalamnya ia menulis tentang sistem pemisahan kekuasaan yang berlaku
di Inggris:
1.
Legislatif: kekuasaan yang dilaksanakan oleh
badan perwakilan rakyat (parlemen);
2.
Eksekutif: kekuasaan yang dilaksanakan oleh
pemerintah;
3.
Yudikatif: kekuasaan yang dilaksanakan oleh
badan peradilan (Mahkamah Agung dan pengadilan di bawahnya).
Isi ajaran Montesquieu berpangkal pada pemisahan kekuasaan
negara (separation of powers) yang terkenal dengan istilah “Trias
Politica”. Keharusan pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga jenis itu
adalah untuk membendung kesewenang-wenangan raja.
Kekuasaan membuat undang-undang (legislatif) harus dipegang
oleh badan yang berhak khusus untuk itu. Dalam negara demokratis, kekuasaan
tertinggi untuk menyusun undang-undang itu sepantasnya dipegang oleh badan
perwakilan rakyat. Sedangkan kekuasaan melaksanakan undang-undang harus dipegang
oleh badan lain, yaitu badan eksekutif. Dan kekuasaan yudikatif (kekuasaan
yustisi, kehakiman) adalah kekuasaan yang berkewajiban memertahankan
undang-undang dan berhak memberikan peradilan kepada rakyat. Badan yudikatiflah
yang berkuasa memutuskan perkara, menjatuhkan hukuman terhadap setiap
pelanggaran undang-undang yang telah diadakan oleh badan legislatif dan
dilaksanakan oleh badan eksekutif.
Walaupun para hakim pada umumnya diangkat oleh kepala negara
(eksekutif), mereka berkedudukan istimewa, tidak diperintah oleh kepala negara
yang mengangkatnya dan bahkan berhak menghukum kepala negara jika melakukan
pelanggaran hukum. Inilah perbedaan mendasar pandangan Montesquieu dan John
Locke yang memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasasan eksekutif.
Montesquieu memandang badan peradilan sebagai kekuasaan independen. Kekuasaan
federatif menurut pembagian John Locke justru dimasukkan Montesquieu sebagai
bagian dari kekuasaan eksekutif.
Pemisahan atau Pembagian Kekuasaan?
Pemisahan kekuasaan dalam arti material adalah pemisahan
kekuasaan yang dipertahankan dengan jelas dalam tugas-tugas kenegaraan di
bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif. Sedangkan pemisahan dalam arti
formal adalah pembagian kekuasaan yang tidak dipertahankan secara tegas. Prof.Dr.
Ismail Suny, SH, MCL dalam bukunya “Pergeseran Kekuasaan Eksekutif”
berkesimpulan bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti material sepantasnya disebut
separation of powers (pemisahan kekuasaan), sedangkan pemisahan
kekuasaan dalam arti formal sebaiknya disebut division of powers
(pembagian kekuasaan). Suny juga berpendapat bahwa pemisahan kekuasaan dalam
arti material hanya terdapat di Amerika Serikat, sedangkan di Inggris dan
negara-negara Eropa Barat umumnya berlaku pemisahan kekuasaan dalam arti
formal. Meskipun demikian, alat-alat perlengkapan negara tetap dapat dibedakan.
Apabila dalam sistem Republik rakyat di negara-negara Eropa Timur dan Tengah
sama sekali menolak prinsip pemisahan kekuasaan, maka UUD 1945 membagi perihal
kekuasaan negara itu dalam alat-alat perlengkapan negara yang memegang ketiga
kekuasaan itu tanpa menekankan pemisahannya.
http://ruhcitra.wordpress.com/2008/11/11/kekuasaan-negara/
No comments:
Post a Comment