Saturday 30 August 2014

Organisasi Kurikulum Pendidikan Kejuruan



ORGANISASI KURIKULUM PENDIDIKAN KEJURUAN 
I.       Pengembangan Kurikulum Pendidikan Kejuruan dalam Perspektif Sejarah
Pemisahan dua tujuan pendidikan menurut para ahli seperti diterangkan pada poin latar belakang, mungkin akan mendorong ke penegasan tentang dualisme antara pendidikan umum dan pendidikan kejuruan . Tetapi sebenarnya permasalahnnya lebih kompleks dari yang tergambar dan pemisahan yang lebih bersifat teoritis-konsepsional tersebut akan sulit diamati secara objektif dalam kehidupan yang real. Tetapi adanya pemisahan tersebut dapat mengawali pemikiran tentang bagaimana hubungan antara pendidikan umum dan pendidikan kejuruan sebagai sub sistem dengan pendidikan secara keseluruhan.
Begitupun dengan Konsep dasar kurikulum di pendidikan kejuruan berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan praktik pendidikan, juga bervariasi sesuai dengan aliran atau teori pendidikan yang dianutnya. Dari pemahaman isi, penulis sepakat dengan pendapat Finch & Crunkilton bahwa ada dua fokus pada kurikulum yaitu siswa itu sendiri dan juga kurikulum harus mampu menyediakan pengalaman belajar tidak hanya terbatas di sekolah tapi juga di luar sekolah. Pengertian ini sejalan pula dengan pendapat Oliva dalam bukunya Developing Curriculum (1992: 3) bahwa kurikulum adalah rencana atau program yang menyangkut pengalaman yang dihayati anak didik di bawah pengarahan sekolah. Substansi dari pengertian cocok untuk diterapkan dalam konteks pendidikan teknologi dan kejuruan, dimana keberhasilan proses pembelajaran dinilai dalam dua kriteria yaitu in school-success dan out of school-success .
Hubungan antara kurikulum dan pembelajaran dalam pendidikan teknologi dan kejuruan, apabila dibandingkan dengan model yang dikemukakan oleh Oliva (1992) masuk kategori interlocking model ; model ini secara jelas mendemonstrasikan suatu hubungan terpadu di antara keduanya. Keberadaan hubungan yang saling bertautan satu sama lain terjadi ketika kurikulum dan pembelajaran menunjukkan suatu jalinan sistem. Secara lebih tegas Soekamto (1988 : 7) menegaskan bahwa mungkin tidak terlalu salah apabila dikatakan bahwa kegiatan perencanaan kurikulum dan pengajaran adalah dua tingkat yang berbeda dari satu kegiatan yang sama. Perencanaan kurikulum berada pada tingkat yang lebih tinggi , sedangkan kegiatan perencanaan pembelajaran (instructional planning) berada / terjadi pada tingkat atau scope yang lebih rendah. Keduanya akan bertemu dan saling berkaitan erat manakala keberhasilan belajar tiba saatnya dievaluasi, karena pada tahap ini, baik isi dan struktur kurikulum serta proses dan materi pembelajaran akan dinilai dengan kriteria yang sama , yaitu sejauh mana keduanya mampu membantu anak didik mengembangkan potensinya secara optimal.
Point terakhir yang perlu disoroti dalam bagian ini adalah tentang karakteristik pendidikan teknologi dan kejuruan yang telah diungkapkan pada bagian terdahulu. Satu point yang perlu penulis tanggapi adalah masalah pembiayaan. Ada satu pendapat bahwa biaya yang dikeluarkan untuk pendidikan teknologi dan kejuruan yang relatif besar tidak sepadan dengan kualitas lulusannya. Memang berbagai studi tentang hubungan antara biaya dengan hasil guna pendidikan (cost-benefit analysis) mengungkapkan temuan bahwa secara ekonomis biaya untuk pendidikan teknologi dan kejuruan lebih mahal dari biaya untuk pendidikan umum. Dalam hal ini haruslah diingat bahwa perbandingan biaya tidak harus ditafsirkan sebagai indikator pengalokasian biaya yang keliru. Jelasnya indeks biaya yang berbeda tidak membuktikan bahwa program yang satu lebih baik dari program yang lain, sehingga program yang murah harus lebih dikembangkan dari pada program yang lebih mahal unit biayanya. Hasil temuan studi semacam ini seharusnya menjadi masukan dalam segi perencanaan dan realokasi pembiayaan penyelenggaraan program pendidikan, karena itulah maksud yang semula direncanakan.
II.        Konsep dan Praktek dalam Pengembangan Kurikulum Kejuruan
Untuk pengembangan kurikulum pendidikan kejuruan , Shoemaker mengemukakan suatu motto demikian :
“Curriculum for Vocational Education starts with the student on the job and finish with the job”
Pada mulanya, program pendidikan kejuruan harus digali dengan didasarkan atas filosofi dan dasar pendidikan. Tanpa dasar tersebut ynag dibangun secara kuat, maka tidak mungkin diperoleh program yang stabil dan terarah. Adapun filosofi dari program tersebut harus mencerminkan tujuan pendidikan kejuruan dan kedudukannya didalam lingkungan sosial,ekonomi dan pendidikan.
Program pendidikan yang dimaksudkan haruslah merupakan kurikulum inti (core curriculum)yang diarahkan untuk menyiapkan indivivu bagi perolehan pekerjaan.
Fondasi filosofik dan edukatif dari program pendidikan kejuruan dapat diperkuat dengan pandangan dan kebijakan pemerintah pusat. Agar lebih efektif, dasar tersebut harus dikembalikan kepada kebutuhan masyarakat.
Untuk diperoleh landasan yang kuat , terlebih dahulu dirumuskan kriteria tentang ciri pendidkan yang relevan, dan dikelola oleh pimpinan yang “tangguh ” untuk mengembangkan, melaksanakan dan mengadministrasikannya.
Pendidikan kejuruan dapat diidentifikasikan sebagai suatu program yang yang mengkombinasikan berbagai keterampilan dan isi teknis dari bermacam-macam  disiplin dengan persayaratan –persayaratan mengenai dunia kerja supaya mampu mempersiapkan pemuda pemudi mencapai keberhasilan di masyarakat yang akan dihadapi.
Agar pendidikan kejuruan dapat menarik minat para masyarakat, Shoemaker mengemukakan hal-hal berikut :
a.Latihan prapekerjaan untuk sebagian besar para muda yang menghendaki masuk ke bidang kerja dan industri.
b. Kurikulum yang direncanakan untuk latihan prapekerjaan juga memiliki andil yang besar ke arah pengembangan pekrja bermutu dengan sikap dan kebiasaan yang baik
c. Kurikulum direncanakan disekolah menengah untuk kehidupan panjang masyrakat, meliputi bidang budaya dan latihan pekerjaan untuk masyarakat nya kelak.
III.             Organisasi Kurikulum Pendidikan Kejuruan

  1. Dalil Pendidikan Kejuruan
Dr. Charles Allen Prosser (1871-1952) adalah seorang praktisi dan akademisi Amerika Serikat yang sering dianggap sebagai bapak pendidikan kejuruan, terutama di Amerika. Prosser juga adalah seorang guru Fisika dan Sejarah di New Albany High School dan mendapatkan gelar PhD dari Columbia University. Di kalangan akademisi pendidikan vokasi dan kejuruan di Indonesia, Prosser cukup dikenal sebagai penyusun 16 Prinsip Pendidikan Vokasi atau sering juga disebut sebagai 16 Dalil Prosser.
Prosser yakin bahwa sekolah harus membantu para siswanya untuk mendapatkan pekerjaan, mempertahankan pekerjaan tersebut dan terus maju dalam karir. Prosser yakin bahwa harus ada sekolah vokasional untuk publik sebagai alternatif terhadap sekolah umum yang sudah ada. Sekolah vokasional yang dimaksud adalah sekolah yang menyediakan pelajaran untuk berbagai jenis pekerjaan yang ada di industri. Prosser percaya bahwa pendidikan vokasional di jenjang sekolah menengah atas akan mampu menjadikan para siswa lebih independen.
Prosser terkenal dengan prinsip-prinsipnya dalam pendidikan vokasional.
  1. Pendidikan kejuruan akan efisien jika lingkungan dimana siswa dilatih merupakan replika lingkungan dimana nanti ia akan bekerja.
  2. Pendidikan kejuruan yang efektif hanya dapat diberikan dimana tugas-tugas latihan dilakukan dengan cara, alat dan mesin yang sama seperti yang ditetapkan di tempat kerja.
  3. Pendidikan kejuruan akan efektif jika melatih seseorang dalam kebiasaan berpikir dan bekerja seperti yang diperlukan dalam pekerjaan itu sendiri.
  4. Pendidikan kejuruan akan efektif jika dapat memampukan setiap individu memodali minatnya, pengetahuannya dan keterampilannya pada tingkat yang paling tinggi.
  5. Pendidikan kejuruan yang efektif untuk setiap profesi, jabatan atau pekerjaan hanya dapat diberikan kepada seseorang yang memerlukannya, yang menginginkannya dan yang mendapat untung darinya.
  6. Pendidikan kejuruan akan efektif jika pengalaman latihan untuk membentuk kebiasaan kerja dan kebiasaan berpikir yang benar diulang-ulang sehingga sesuai seperti yang diperlukan dalam pekerjaan nantinya.
  7. Pendidikan kejuruan akan efektif jika gurunya telah mempunyai pengalaman yang sukses dalam penerapan keterampilan dan pengetahuan pada operasi dan proses kerja yang akan dilakukan.
  8. Pada setiap jabatan ada kemampuan minimum yang harus dipunyai oleh seseorang agar dia tetap dapat bekerja pada jabatan tersebut.
  9. Pendidikan kejuruan harus memperhatikan permintaan pasar.
  10. Proses pembinaan kebiasaan yang efektif pada siswa akan tercapai jika pelatihan diberikan pada pekerjaan yang nyata (pengalaman sarat nilai).
  11. Sumber yang dapat dipercaya untuk mengetahui isi pelatihan pada suatu okupasi tertentu adalah dari pengalaman para ahli okupasi tersebut.
  12. Setiap pekerjaan mempunyai ciri-ciri isi (body of content) yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain.
  13. Pendidikan kejuruan akan merupakan layanan sosial yang efisien jika sesuai dengan kebutuhan seseorang yang memang memerlukan dan memang paling efektif jika dilakukan lewat pengajaran kejuruan.
  14. Pendidikan kejuruan akan efisien jika metode pengajaran yang digunakan dan hubungan pribadi dengan peserta didik mempertimbangkan sifat-sifat peserta didik tersebut.
  15. Administrasi pendidikan kejuruan akan efisien jika luwes.
  16. Pendidikan kejuruan memerlukan biaya tertentu dan jika tidak terpenuhi maka pendidikan kejuruan tidak boleh dipaksakan beroperasi.
  1. Prinsip Organisasi Kurikulum Pendidikan Kejuruan
Pada tahun 1930, Dr.Arnold Alberty dari Ohio States University mengemukakan teori baru mengenai organisasi kurikulum yang disebut dengan “core curriculum” yang berisi demikian “mengambil sebuah masalah yang dijadikan pusat perhatian subyek didik”. Berdasarkan atas maslah itu , siswa/mashasiswa membahas , memecahkan dengan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dimiliki sebagai hasil kombinasi dari berbagai bidang studi yang sedang dipelajari.
Untuk pendidikan kejuruan dapat dikaitkan dengan dalil-dalil Prosser. Sebagai pusat perhatian adalah pekerjaan yang ada di pasaran kerja.
Sebuah proyek yang dinamakan “Educational System of the 70’s” yang disponsori oleh United States Office of Educational menyarankan bahwa apabilan ingin dicapai pengajaran yang efektif, harus memadukan antar bidang studi. Paduan bidang studi tersebut diajarkan secara terintegrasi berdasarkan dunia kerja pada masa itu.
IV. Model Desain Kurikulum Pendidikan Teknologi dan Kejuruan
Ada empat model desain kurikulum yang dikemukakan oleh Finch & Crunkilton yaitu model akademik, pragmatik, ekperensial, dan teknik. Secara tegas Finch & Crunkilton mengemukakan bahwa technical model adalah model desain kurikulum yang paling cocok diterapkan di pendidikan teknologi dan kejuruan. Model ini dipandang cocok karena menggunakan pendekatan sistem, dimana setiap komponen baik yang berkaitan dengan ”school setting” dan ”community setting” akan sangat berpengaruh terhadap pendidikan teknologi dan kejuruan. Dari sudut pandang yang lain, model desain kurikulum ini apabila dibandingkan dengan model yang dikemukakan oleh Nana Syaodih (2006) hampir sama dengan model teknologis yang pada dasarnya mempergunakan pendekatan sistem.
V. Perencanaan Kurikulum Pendidikan Kejuruan

Dalam konteks perencanaan kurikulum di Pendidikan Kejuruan ada dua isu besar yang harus diperhatikan, yaitu perencanaan kurikulum di tingkat mikro dan makro. Dalam bahasa Finch dan Crunkilton kedua isu besar tersebut pada dasarnya adalah suatu proses pengambilan keputusan dengan memperhatikan informasi dari sekolah (school related data) dan informasi dari masyarakat (community related data).
Proses pengambilan keputusan perencanaan dan pengembangan kurikulum di pendidikan teknologi dan kejuruan haruslah menyangkut koordinasi yang harmonis antara aspek perencanaan di tingkat makro dan mikro ini. Dengan kata lain, terlebih dahulu harus diketahui dengan jelas dimensi permasalahan yang harus ditangani oleh masing-masing level pengambilan keputusan. Suatu kerangka pemikiran operasional ditawarkan oleh Beane (1986), yang membedakan tugas perencanaan kurikulum menjadi tiga tingkatan, yaitu perencanaan kurikulum di tingkat makro dan mikro, pengembangan kurikulum di tingkat makro, dan pembelajaran di tingkat mikro.
Apabila diklasifikasikan , kebutuhan informasi yang relevan untuk perencanaan kurikulum di pendidikan teknologi dan kejuruan dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :
Sumber Data yang Relevan Untuk Perencanaan Kurikulum
di Pendidikan Teknologi dan Kejuruan
VI. Penetapan Isi Kurikulum Pendidikan Kejuruan

Berdasarkan uraian diatas, tentang berbagai pendekatan dalam penetapan isi kurikulum pendidikan teknologi dan kejuruan,tidak dapat dikatakan dengan tegas mana yang paling baik, karena banyak faktor yang terkait dengan kelayakan pemakaian masing-masing pendekatan . Sebagai contoh; ditinjau dari segi falsafah pendidikan teknologi dan kejuruan, pendekatan task analysis mungkin yang paling idealisme tentang kurikulum yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja. Tetapi ditinjau dari peranan pendidikan teknologi dan kejuruan sebagai sarana pengembangan sumber daya manusia, ada pertimbangan tertentu yang menyebabkan pendekatan yang terlalu didikte oleh kebutuhan industri ini, tidak begitu populer di negara yang sedang berkembang di samping faktor biaya, proses, juga struktur industrinya yang belum mapan untuk dapat disurvei secara sistematis.
Selain pendekatan dalam menentukan isi kurikulum seperti yang sudah dikemukakan di atas, dalam menentukan isi kurikulum ada beberapa faktor yang perlu diperhatiakn (Nana Syaodih: 2006) yaitu : perkembangan ilmu pengetahuan, karakteristik perkembangan anak, serta konsep-konsep modern tentang hakikat pengalaman belajar.
Daftar Pustaka

-          file.upi.edu/Direktori/FPTK/JUR…/Presentasi_Sejarah_PTK.pdf

No comments:

Post a Comment