TEORI-TORI
HUBUNGAN INTERNASIONAL
BAB I
PENDAHULUAN
DASAR
HUBUNGAN INTERNASIONAL
Hubungan Internasional didasari atas
sikap saling meng-hormati & menguntungkan,dengan tujuan :
1.Memacu pertumbuhan eko-nomi setiap
negara.
2.Menciptakan saling penger-tian
antar bangsa dalam membina dan menegakkan perdamaian dunia.
Menciptakan keadilan dan
kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyatnya.
TEORI
DAN DISIPLIN ILMU
~ Marxisme
Disiplin
ilmu Hubungan Internasional memelajari banyak aspek di dalamnya, seperti
politik, hukum, ekonomi dan sosial
TEORI
EKSPLANATIF DAN KONSTITUTIF
Teori-teori tersebut akan
melakukan pengujian hipotesis, menawarkan penjelasan sebab-sebab, penjabaran
peristiwa-peristiwa dan penjelasan kecendrungan serta fenomena umum, dengan
tujuan membangun gambaran dunia yang masuk akal. Kita akan menyebutnya sebagai
teori eksplanatif hubungan
internasional.
Teori
Konstitutif:
Pengakuan mempunyai kekuatan
konstitutif. Sehingga negara itu secara hukum baru ada, apabila sudah mendapat
pengakuan dari negara-negara lain.
PERBEDAAN
ANTARA TEORI-TEORI HUBUNGAN INTERNASIONAL
Teori Epistemologi dan teori HI
Secara garis besar teori-teori HI
dapat dibagi menjadi dua pandangan epistemologi “positivis” dan
“pasca-positivis”.Teori-teori positivis bertujuan mereplikasi metode-metode
ilmu-ilmu sosial dengan menganalisis dampak kekuatan-kekuatan material. Teori-teori
ini biasanya berfokus berbagai aspek seperti interaksi negara-negara, ukuran
kekuatan-kekuatan militer, keseimbangan
kekuasaaan (Balance of Power) dan lain-lain. Epistemologi pasca-positivis
menolak ide bahwa dunia sosial dapat dipelajari dengan cara yang objektif dan bebas-nilai. Epistemologi ini menolak ide-ide
sentral tentang neo-realisme/liberalisme, seperti teori pilihan rasional,
dengan alasan bahwa metode ilmiah tidak dapat diterapkan ke dalam dunia sosial
dan bahwa suatu “ilmu” HI adalah tidak mungkin.Perbedaan kunci antara kedua
pandangan tersebut adalah bahwa sementara teori-teori positivis, seperti
neo-realisme, menawarkan berbagai penjelasan yang bersifat sebab-akibat
(seperti mengapa dan bagaimana kekuasaan diterapkan), teori pasca-positivis
pasca-positivis berfokus pada pertanyaan-pertanyaan konstitutif, sebagai contoh apa
yang dimaksudkan dengan “kekuasaan”; hal-hal apa sajakah yang membentuknya,
bagaimana kekuasaan dialami dan bagaimana kekuasaan direproduksi. Teori-teori
pasca-positivs secara eksplisit sering mempromosikan pendekatan normatif
terhadap HI, dengan mempertimbangkan etika. Hal ini merupakan
sesuatu yang sering diabaikan dalam HI “tradisional” karena teori-teori
positivis membuat perbedaan antara “fakta-fakta” dan penilaian-penilaian
normatif, atau “nilai-nilai”
Teori-teori pasca-positivis/reflektivis
Teori masyarakat internasional (Aliran Mazhab Inggris)
Teori masyarakat internasional, juga disebut Aliran Mazhab Inggris, berfokus pada berbagai norma dan nilai yang sama-sama dimiliki oleh negara-negara dan bagaimana norma-norma dan nilai-nlai tersebut mengatur hubungan internasional.
Contoh
norma-norma seperti itu mencakup diplomasi, tatanan, hukum internasional.Tidak seperti neo-realisme,
teori ini tidak selalu positivis.Para teoritisi teori ini telah berfokus
terutama pada intervensi kemanusiaan, dan dibagi kembali antara para solidaris,
yang cenderung lebih menyokong intervensi kemanusiaan, dan para pluralis, yang
lebih menekankan tatanan dan kedaulatan, Nicholas Wheeler adalah seorang
solidaris terkemuka, sementara Hedley Bull mungkin merupakan pluraris yang
paling dikenal.
Konstruktivisme Sosial
Kontrukstivisme
Sosial mencakup rentang luas teori yang bertujuan menangani berbagai pertanyaan
tentang ontologi, seperti perdebatan tentang lembaga (agency) dan Struktur,
serta pertanyaan-pertanyaan tentang epistemologi, seperti perdebatan tentang
“materi/ide” yang menaruh perhatian terhadap peranan relatif kekuatan-kekuatan
materi versus ide-ide.Konstruktivisme bukan merupakan teori HI, sebagai contoh
dalam hal neo-realisme, tetapi sebaliknya merupakan teori sosial.[
Teori Kritis
Teori
hubungan internasional kritis adalah penerapan “teori kritis” dalam hubungan
internasional.Pada pendukung seperti Andrew Linklater, Robert W. Cox, dan Ken Booth berfokus pada kebutuhan terhadap emansipansi
(kebebasan) manusia dari Negara-negara.Dengan demikian, adalah teori ini bersifat
“kritis” terhadap teori-teori HI “mainstream” yang cenderung berpusat pada
negara (state-centric).Catatan: Daftar teori ini sama sekali tidak menyebutkan
seluruh teori HI yang ada. Masih ada teori-teori lain misalnya fungsionalisme,
neofungsionalisme, feminisme, dan teori dependen.
Marxisme
Teori
Marxis dan teori Neo-Marxis dalam HI menolak pandangan realis/liberal tentang
konflik atau kerja sama negara, tetapi sebaliknya berfokus pada aspek ekonomi
dan materi.Marxisme membuat asumsi bahwa
ekonomi lebih penting daripada persoalan-persoalan yang lain; sehingga
memungkinkan bagi peningkatan kelas sebagai fokus studi.Para pendukung Marxis
memandang sistem internasional sebagai sistem kapitalis terintegrasi yang
mengejar akumulasi modal (kapital).Dengan demikian, periode kolonialisme membawa masuk pelbagai sumber
daya untuk bahan-bahan mentah dan pasar-pasar yang pasti (captive markets),
sementara dekolonisasi membawa masuk pelbagai kesempatan baru dalam bentuk
dependensi (ketergantungan).
Teori-teori pascastrukturalis
Teori-teori pascastrukturalis
dalam HI berkembang pada 1980-an dari studi-studi pascamodernis dalam ilmu
politik.Pasca-strukturalisme mengeksplorasi dekonstruksi konsep-konsep yang
secara tradisional tidak problematis dalam HI, seperti kekuasaan dan agensi dan meneliti bagaimana pengkonstruksian
konsep-konsep ini membentuk hubungan-hubungan internasional.Penelitian terhadap
“narasi” memainkan peran yang penting dalam analisis pascastrukturalis, sebagai
contoh studi pascastrukturalis feminis telah meneliti peran yang dimainkan oleh
“kaum wanita” dalam masyarakat global dan bagaimana kaum wanita dikonstruksi
dalam perang sebagai “tanpa dosa” (innocent) dan “warga sipil”.[rContoh-contoh riset pasca-positivis mencakup:
Pelbagai bentuk feminisme (perang
"gender" war—“gendering” war)Pascakolonialisme (tantangan-tantangan
dari sentrisme Eropa dalam HI)
MENGEVALUASI
TEORI DENGAN PERBEDAAN DAN PERBANDINGAN
Menentukan kriteria untuk menilai
teori-teori hubungan internasional bukanlah tugas mudah. Kegley mengatakan,
‘sebuah teori hubungan internasional harus melakukan 4 tugas utama :
mendeskripsikan, menjelaskan, memprediksi dan menentukan.
BAB II
INTERNASIONALISME
LIBERAL
Internasional liberal adalah
sebuah pendekatan ‘dari dalam-ke luar’ (inside-out) terhadap hubungan
internasional, karena kaum liberal memilih sebuah dunia yang di situ endogin
(berasal dari dalam) menentukan exogenous (yang ada di luar). Tantangannya
adalah untuk memperluas legistimasi terhadap rencana-rencana politik domestik
yang ditemukaan di dalam negara-negara demokratis ke hubungan antara
negara-bangsa. Selain itu, kaum liberal meyakini bahwa masyarakat demokratis,
yang di situ kebebasan sipil dilindungii dan hubungan pasar berlangsung,
memiliki kesamaan internasional dengan bentuk tatanan global yang damai. Pasar
bebas domestik memiliki rekan imbangannya dalam ekonomi dunia terbuka dan glonbal.
Perdebatan parameter dan akuntabilitas diproduksi dalam bentuk internasional
seperti PBB. Dan perlindungan terhadap hak asasi manusia di negara-negara
demokrasi liberal diperluas untuk mengenalkan hak asasi manusia ke eluruh
dunia. Dengan runtuhnya komunisme sebagai tatanan politik dan ekonomi
alternatif, potensi berkelanjutan antara demestik dan internasional menjadi
lebih besar daripada sepanjang periode sebelumnya.
Fukuyama memiliki alasan optimis.
Penyebar-luasan demokrasi liberal dan
zona perdamaian adalah sebuah perkembangan yang membanggakan, sebagaimana yang
direalisasikan dalam negara-negara bahwa perdagangan dan perniagaan lebih dekat
hubungannya dengan kesuksesan ekonomi daripada penaklukan teritori. Beberapa
pemerintahan yang memiliki aturan sipil daripada militer sedang mengalami
peningkatan, dan ada tanda-tanda bahwa pertimbangan-perrtimbangan etnis
memiliki tempat utama dalam diplomasi.
Keruntuhan komunisme sebagai tatanan politikyang terlegistimasi menghilangkan
rintangan substansial bagi penyebarab demokrasi liberal, dan tidak diragukan
bahwa kekuasaan-kekuasaan besar sekarang tidak begitu berhasrat untuk
menggunakan kekuatan dalam memecahkan perselisihan-perselisihan politik mereka.
Globalisasi ekonomi dunia bearti
ada sedikit rintangan terhadap perdag ngan internasional. Kaum liberal terus
berusaha untuk menghilangkan pengaruh negara dalam hubungan perniagaan antara
bisnis dan individu, dan keruntuhan kedaulatan ekonomi bangsa adalah indikasi
bahwa pengaruh negara yang merusak berrkurang begitu cepat.
Perusahaan-perusahaan multinasional dan pasar modal memiilki pengaruh yang
belum pernah terjadi sebelumnya terhadap bentuk ekonomi dunia, dalam proses
homogenisasi ekonomi politik setiap negara anggota komunitasinternasional.
Penciptaan masyarakat pasar pada skala global adalah tujuan yang didasar.
Disisi lain ada beberapa negara
yang sedang tumbuh yang menolak argumen bahwa modernitas barat itu secara
universal valid atau bahwa perkembangan politik itu selalu bermuara pada
demokrasi kapitalis liberal. Mereka mengklaim bahwa politik dan hak asasi
manusia barat adalah bentuk imperalisme kultural dan telah mengenalkan
kekuasaan ekonomi yang mengesankan tanpa
bebas prosedural yang didukung oleh para internasionalis liberal. Negara-negara
liberal belum pernah mengkaji bagaimana cara mereka bertindak secara damai
dengan masyarakat-masyarakat ini, mereka juga belum menjelaskan bagaimana zona
perdamaian dapat memesukan orang-orang sejak dahulu kala telah menjadi korban
intervensi barat. Para internasionalis liberal bahkan belum pernah menunjukan
bagaimana negara-negara liberal dapat mangalahkan perasaan-perasaan tidak aman
mereka yang dimunculkan oleh sistem internasional yang anarkis, sebuah kondisi
lebih lanjut yang diperburuk oleh runtuhnya keseimbangan kekuasaan dan
penolakan nuklir bersama-sama dengan berakirnya perang dingin. Ketidakpastinya
dunia yang berkutub banyak (multipolar) dan kelemahan yang melekat di dalam
aturan –aturan keamanan bersama adalah penyebab kegelisahan yang hebat di antara
para neo-realis.
Lagi pula, kejayaan perdagangan
bebas tampak sedikit banyak menyesatkan, bahwa kekuasaan-kekuasaan ekonomi yang
utama telah meraih kesuksesan ekonomi dengan merusak secara terang-terangan
prinsip-prinsip pasar yang sedang mereka paksakan kepada dunia
sedangmemperburuk perbedaan kejayaan secara internal antara dunia kaya dan
miskin. Kebijakan tersebut menenggelamkan dan sering kali merusak kehidupan
komunitas masyarakat tradisional hanya memberi resep satu jalan untuk
perkembangan ekonomi. Sementara itu, ghlobalisasi ekonomi dunia membiarkan
kekuatan perusahaan-perusahaan tradisional dan pasar finansial menjadi tak
terlindungi dan tak dapat dimintai pertanggungjawaban.
Berakhirnya perang dingin
menyadarkan internasionalisme liberal di dunia akademi. Betapapun cacatnya,
klaim-klaimnya masa depan tatanan internasional patut mendapat penyelidikan
serius dan pendekatan-pendekatannya yang menantang layak diterapkan secara
intelektual. Terus mempercayai bahwa internasionalisme liberal diskreditkan secara
fatal di tahun 1930-an akan bearti terlalu meremehkan kekuatan intelektualnya
dan keluasan cakupan hubungan-hubungan internasional kontemporer yang
menyerupai keluasaan teleologinya.
BAB III
Teori
Epistemologi dan teori HI
Teori-teori Utama Hubungan Internasional Realisme Neorealisme,
Dipelopori oleh Kenneth Waltz, istilah kunci : struktur, agen, sistem
internasional Idealisme, Dipelopoeri oleh Imanuel Kant, istilah kunci :
Pacific Union Liberalisme. Dipelopori oleh Robert Keohane,
istilah kunci : complex interdepency Neoliberalisme,
Marxisme dan Neo
Marxis Teori dependensi.
Teori kritis
dipelopori oleh Jurgen Habermas, istilah kunci : Paradigma Komunikasi, Paradigma Kesadaran, Alienisasi,
Emansipatoris.
Konstruksivisme
Fungsionalisme Neofungsiionalisme Negativitas Total dari TW Adorno, untuk memahami isu-isu lingkungan Masyarakat Konsumtif dari Herbert Marcuse, untuk memahami hubungan antara masyarakat dengan budaya
global.
Secara garis besar teori-teori HI dapat dibagi menjadi dua
pandangan epistemologi “positivis” dan “pasca-positivis”. Teori-teori positivis
bertujuan mereplikasi metode-metode ilmu-ilmu sosial dengan menganalisis dampak
kekuatan-kekuatan material. Teori-teori ini biasanya berfokus berbagai aspek
seperti interaksi negara-negara, ukuran kekuatan-kekuatan militer, keseimbangan kekuasaaan (Balance of Power) dan lain-lain.
Epistemologi pasca-positivis menolak ide bahwa dunia sosial dapat dipelajari
dengan cara yang objektif dan bebas-nilai.
Epistemologi ini menolak ide-ide sentral tentang neo-realisme/liberalisme,
seperti teori pilihan rasional, dengan alasan bahwa metode ilmiah tidak dapat
diterapkan ke dalam dunia sosial dan bahwa suatu “ilmu” HI adalah tidak
mungkin.{{fact}
Perbedaan kunci antara kedua pandangan tersebut adalah bahwa
sementara teori-teori positivis, seperti neo-realisme, menawarkan berbagai
penjelasan yang bersifat sebab-akibat (seperti mengapa dan bagaimana kekuasaan
diterapkan), teori pasca-positivis pasca-positivis berfokus pada pertanyaan-pertanyaan
konstitutif,
sebagai contoh apa yang dimaksudkan dengan “kekuasaan”; hal-hal apa sajakah
yang membentuknya, bagaimana kekuasaan dialami dan bagaimana kekuasaan
direproduksi. Teori-teori pasca-positivs secara eksplisit sering mempromosikan
pendekatan normatif terhadap HI, dengan mempertimbangkan etika. Hal ini merupakan sesuatu yang sering diabaikan dalam HI
“tradisional” karena teori-teori positivis membuat perbedaan antara
“fakta-fakta” dan penilaian-penilaian normatif, atau “nilai-nilai”. Selama
periode akhir 1980-an/1990 perdebatan antara para pendukung teori-teori positivis dan
para pendukung teori-teori pasca-positivis menjadi perdebatan yang dominan dan
disebut sebagai “Perdebatan Terbesar” Ketiga (Lapid 1989.) Islam, yang hanya dipandang orang dan para akademisi
hanya sebagai agama, ternyata menyimpan pemikiran hubungan internasional.
Sejarah mencatat kekuasaan Islam atau khalifah pada sekitar abad 7M. Pada masa
ini, khalifah Islam merupakan suatu global polis atau tatanan hubungan
internasional, karena menata hubungan wilayah-wilayah yang disatukan ke dalam
bentuk polis. Apabila dikaji lebih dalam, khalifah Islam merupakan suatu order
atau tatanan yang mengatur seluruh aspek-aspek kehidupan manusia. Misalnya
hukum ekonomi global berlandaskan pada hukum ekonomi Islam, dimana hukum
ekonomi Islam tidak mengutamakan riba ( keuntungan atau jiwa-jiwa kapitalis seperti yang diungkapkan oleh Pemikiran Marxis, tetapi
suatu sistem ekonomi yang win-win solution serta mengutamakan kesejahteraan
bersama, bukan keuntungan pihak tertentu saja. Bandingkan dengan pemikiran-pemikiran
ekonomi sekarang ini, seperti Neolib, dll, dimana pemikiran telah menciptakan
keterbelakangan dan ketergantungan ( dependensi ) yang berakibat pada
kesenjangan global.
Teori politik adalah salah satu kajian di dalam bidang
hubungan internasional. Teori politik pada dasarnya adalah tentang tata negara.
Pemikiran sistem politik demokrasi yang diadopsi oleh negara-negara berkembang
merupakan kajian teori politik. Islam adalah sumber teori politik, karena
memuat seluruh aspek-aspek kehidupan manusia. Sebagai contoh, sistem ekonomi
Islam merupakan teori politik yang bertujuan menjamin kesejahteraan bersama
sehingga manusia menjadi "mansalahat" atau tentram. Teori politik
yang bersumber dari pemikiran barat adalah suatu malapraktik bagi manusia itu
sendiri, karena manusia tidak menerima esensinya sendiri, tetapi mencari esensi
lain yang berakibat pada jatuhnya manusia kepada jurang alienisasi.
Menurut Imanuel Kant, perdamaian akan tercipta apabila
negara-negara menganut sistem demokrasi. Perpertual peace adalah perdamaian
yang timbul karena negara-negara menganut sistem demokrasi. Ini adalah
kesalahan besar. Perdamaian hanya akan timbul apabila manusia menerima
esensinya sebagai manusia, dengan cara menerapkan teori politik Islam yang
merupakan sumber dari order manusia itu sendiri
BAB IV
RASIONALISME
Rasionalisme
dikenalkan pertama kali dalam studi filsafat dengan tokohnya yang terkenal
adalah Rene’ Descrates. Aliran rasionalisme beranggapan bahwa sumber
pengetahuan adalah rasio. Karena kebenaran berasal dari ratio (akal).
Namun dalam studi hubungan internasional, rasionalisme baru mulai diperkenalkan
pada tahun 1950 oleh Andrew Linklater, dalam bukunya yang berjudul ‘Rationalism’.
Menurutnya, rasionalis awalnya diperkenalkan dari sebuah asosiasi penulis
klasik seperti Gratius dan Vattel. Sedangkan pemikir modernnya adalah Hadley
Bull, Vincent, dan Watson. Rasionalis merupakan pemikiran yang berada diantara
teori realisme dan idealisme. Dalam bukunya, Linklater mengatakan bahwa “rasionalisme
mengakui bahwa negara melakukan paksaan untuk keamanannya di dalam kondisi
anarkhi, tidak seperti individu-individu dalam masyarakat sipil. Dan bahwa
kompetensi dan konflik sering mengikuti usahanya untuk realisme objektifnya.
Rasionalisme
diambil berdasarkan teori realisme dan idealisme, dimana realis memiliki
argumen bahwa negara memaksa masyarakat internasional dibawah kepentingan
nasionalnya yang egois. Dua poin penting mengenai rasionalisme yang ada dalam
buku ini, menyebutkan bahwa rasionalis meyakinkan bahwa tekanan realis dalam
bagaimana negara mengeluarkan maneuver, control, dan mencari kekuatan lebih
dari yang lainnya. Kemudian, tuntutan rasionalis, bahwa kepentingan
internasional harusnya tidak berdasarkan pada jaminan, setelah pencapaian
berbahaya yang dapat memusnahkan dari kekuatan politik agresif atau
revolusioner.
Pemisahan
antara pengetahuan dan kepentingan manusiawi yang terwujud dalam pemisahan
teori dan praksis, seperti yang dianut oleh ilmu pengetahuan modern, bertujuan
untuk membersihkan teori dari kepentingan, dimana hal ini berlangsung dalam dua
jalur. Pada jalur pertama tokoh yang berdiri ialah Plato, Rene Descartes,
Malebrache, Spinoza, Leibniz, dan Wolff.
Mereka
percaya, bahwa pengetahuan murni hanya dapat diperoleh melalui rasio manusia
itu sendiri (rasionalisme). Dalam hal ini, plato sangat menekankan pada peran
intuisi. Di jalur kedua, dengan Aristoteles, Hobbes, Locke, Berkeley, dan Hume
berdiri sebagai tokohnya, percaya bahwa hanya dengan melalui pengamatan empiris
terhadap objek pengetahuan, pengetahuan murni dapat diperoleh (empirisme).
Pengetahuan
empiris analitis yang kemudian menjadi ilmu-ilmu alam, direfleksikan secara
filosofis sebagai pengetahuan yang sahih tentang kenyataan, dan ditangan
Francis Bacon, yang menggunakan pisau Rasionalisme dan Empirisme, ilmu-ilmu
alam memperkembangkan konsep teori murni, yakni pembebasan pengetahuan dari
kepentingan. Kemudian pada titik inilah lahir pemikiran positivisme, yang
menjadi puncak pembersihan pengetahuan dari kepentingan, serta sebagai awal
pencapaian cita-cita untuk memperoleh pengetahuan demi pengetahuan, yaitu teori
yang terpisah dan praksis.
BAB V
Marxisme merupakan sebuah teori
dalam hubungan internasional yang dipelopori pertama kali oleh Karl Marx. Pada
tahun 1847, Marx menyatakan bahwa sistem komunis harus dilawan tanpa kompromi.
Dimana kaum kelas bawah, dalam hal ini adalah kaum proletariat (kaum buruh)
harus senantiasa diberdayakan demi menciptakan suatu sistem masyarakat yang
adil, tanpa terpecah ke dalam kelas-kelas.
Asumsi dasar dari teori marxisme itu sendiri, antara lain (1) berpandangan optimis terhadap gambaran tentang manusia; (2) dalam hubungan internasional, proses penyatuan human race dalam suatu dinamika kapitalisme dianggap sebagai driving forces dalam tingkat interdependensi internasional; (3) berbeda dengan pandangan kaum realis dan liberal tentang konflik dan kerjasama, marxisme lebih berfokus pada aspek ekonomi dan materi, dimana ekonomi dinilai lebih penting dibandingkan persoalan-persoalan yang lain sehingga dapat memfokuskan studi pada upaya peningkatan kelas.
Kaum marxis memandang sistem internasional sebagai sistem kapitalis terintegrasi yang mengejar akumulasi modal (kapital). Karl Marx sendiri mengakui bahwa adanya sistem kapitalis akan mampu mengeliminir keberadaan kelas dan mampu mendominasi sistem internasional. Melihat realita tersebut, para penganut marxis juga percaya bahwa suatu saat nanti dengan adanya revolusi politik akan mampu menghapuskan sistem kapitalis dan akan digantikan oleh sistem sosialis. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sistem kapitalis yang ada saat ini hanya akan menguntungkan satu pihak saja, yaitu kaum kapitalis atau pemilik modal. Dalam sistem internasional, marxisme membawa pengaruh kuat dalam perekonomian dunia, dimana kesetaraan dan kebebasan setiap elemen masyarakat mutlak dijunjung tinggi.
Sedangkan yang menjadi agenda utama dari marxisme ialah adanya pemahaman terhadap komunitas sosialis yang mungkin akan menggantikan proses eksploitasi dan ketidaksetaraan melalui suatu asas kebebasan dan kooperasi.
Sementara itu, aktor paling dominan yang berperan penting dalam teori marxisme adalah kelas-kelas tanpa terkecuali. Dalam teori marxis, negara bahkan dianggap tidak ada karena negara sendiri dinilai dapat menjadi suatu penghambat dalam upaya pencapaian kesejahteraan individu. Dalam hal ini, baik kaum borjuis maupun proletar harus mampu bekerjasama demi tercapainya perdamaian dan strabilitas keamanan internasional.
Dalam upaya menegakkan perdamaian dan stabilitas keamanan internasional, teori marxisme ini mengedepankan adanya penghapusan kelas-kelas. Sehingga jika kelas-kelas tersebut dihapuskan, maka tidak akan ada lagi konflik-konflik antar kelas yang terjadi. Karena pembentukan kelas-kelas, menurut marxisme, merupakan faktor utama yang memicu terjadinya konflik.
Sedangkan pada neo-marxisme, gagasan-gagasan awal Marx masih dipakai sebagai landasan untuk melepaskan manusia dari belenggu eksploitasi dan ketidaksetaraan. Asumsi dasar dari neo-marxisme pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan asumsi marxisme. Hanya saja jika dibandingkan dengan marxisme, asumsi neo-marxisme lebih bersifat struktural. Yang diasumsikan oleh neo-marxisme adalah sistem internasional yang terbagi berdasarkan kelas, menurut Immanuel Wallerstein, yaitu core, semi-periphery, dan periphery. Core adalah negara-negara yang dominan dalam dunia, yang sebagian besar adalah kaum kapitalis. Sebagai contoh Amerika Serikat dan Inggris. Semi-periphery adalah negara dunia kedua dengan tingkat perekonomian yang cukup baik, sehingga berpengaruh dalam dunia. Contohnya India dan China. Sedangkan negara periphery adalah negara dunia ketiga, yaitu negara berkembang. Negara-negara kelas periphery ini sebagian besar berada pada kawasan Asia, Amerika Selatan, dan Afrika. Pada intinya, neo-marxisme membuat sistem internasional dunia menjadi terstruktur, sehingga terdapat sistem tersendiri dalam hubungan antar negara.
Neo-marxisme juga memberikan analisisnya tentang kelas sebagai aktor utama dalam hubungan internasional dan keadilan atau kesetaraan internasional sebagai landasan terpenting. Perbedaan yang paling mendasar antara neo-marxisme dan marxisme adalah kemampuannya yang lebih bersifat konseptual dan metodologis dalam menggunakan teori-teori yang disusun oleh Marx.
Neo-marxisme sendiri, seperti yang telah dijelaskan di atas, sebenarnya merupakan hasil dari teori marxisme. Sehingga aktor dan agenda utama dari teori neo-mearxisme tidak jauh berbeda dengan teori marxisme. Upaya dalam pencapaian perdamaian dan stabilitas keamanan internasional juga hampir sama. Pencapaian perdamaian menurut teori neo-marxisme adalah dengan cara kerjasama antar kelas-kelas sosial yang ada.
Saya pribadi, secara garis besar menyetujui upaya penghapusan kelas-kelas yang diusung oleh teori marxisme dan neo-marxisme. Sehingga pengeksploitasian dari negara-negara kapitalis bisa diminimalisir. Menurut saya, tiap-tiap kelas, seperti kelas borjuis dan proletar dalam teori marxisme, seharusnya bisa saling bekerjasama demi terwujudnya suatu perdamaian dan stabilitas keamanan internasional. Karena jika terdapat salah satu pihak saja yang mendominasi, maka akan berpengaruh terhadap sistem perpolitikan internasional.
Asumsi dasar dari teori marxisme itu sendiri, antara lain (1) berpandangan optimis terhadap gambaran tentang manusia; (2) dalam hubungan internasional, proses penyatuan human race dalam suatu dinamika kapitalisme dianggap sebagai driving forces dalam tingkat interdependensi internasional; (3) berbeda dengan pandangan kaum realis dan liberal tentang konflik dan kerjasama, marxisme lebih berfokus pada aspek ekonomi dan materi, dimana ekonomi dinilai lebih penting dibandingkan persoalan-persoalan yang lain sehingga dapat memfokuskan studi pada upaya peningkatan kelas.
Kaum marxis memandang sistem internasional sebagai sistem kapitalis terintegrasi yang mengejar akumulasi modal (kapital). Karl Marx sendiri mengakui bahwa adanya sistem kapitalis akan mampu mengeliminir keberadaan kelas dan mampu mendominasi sistem internasional. Melihat realita tersebut, para penganut marxis juga percaya bahwa suatu saat nanti dengan adanya revolusi politik akan mampu menghapuskan sistem kapitalis dan akan digantikan oleh sistem sosialis. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sistem kapitalis yang ada saat ini hanya akan menguntungkan satu pihak saja, yaitu kaum kapitalis atau pemilik modal. Dalam sistem internasional, marxisme membawa pengaruh kuat dalam perekonomian dunia, dimana kesetaraan dan kebebasan setiap elemen masyarakat mutlak dijunjung tinggi.
Sedangkan yang menjadi agenda utama dari marxisme ialah adanya pemahaman terhadap komunitas sosialis yang mungkin akan menggantikan proses eksploitasi dan ketidaksetaraan melalui suatu asas kebebasan dan kooperasi.
Sementara itu, aktor paling dominan yang berperan penting dalam teori marxisme adalah kelas-kelas tanpa terkecuali. Dalam teori marxis, negara bahkan dianggap tidak ada karena negara sendiri dinilai dapat menjadi suatu penghambat dalam upaya pencapaian kesejahteraan individu. Dalam hal ini, baik kaum borjuis maupun proletar harus mampu bekerjasama demi tercapainya perdamaian dan strabilitas keamanan internasional.
Dalam upaya menegakkan perdamaian dan stabilitas keamanan internasional, teori marxisme ini mengedepankan adanya penghapusan kelas-kelas. Sehingga jika kelas-kelas tersebut dihapuskan, maka tidak akan ada lagi konflik-konflik antar kelas yang terjadi. Karena pembentukan kelas-kelas, menurut marxisme, merupakan faktor utama yang memicu terjadinya konflik.
Sedangkan pada neo-marxisme, gagasan-gagasan awal Marx masih dipakai sebagai landasan untuk melepaskan manusia dari belenggu eksploitasi dan ketidaksetaraan. Asumsi dasar dari neo-marxisme pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan asumsi marxisme. Hanya saja jika dibandingkan dengan marxisme, asumsi neo-marxisme lebih bersifat struktural. Yang diasumsikan oleh neo-marxisme adalah sistem internasional yang terbagi berdasarkan kelas, menurut Immanuel Wallerstein, yaitu core, semi-periphery, dan periphery. Core adalah negara-negara yang dominan dalam dunia, yang sebagian besar adalah kaum kapitalis. Sebagai contoh Amerika Serikat dan Inggris. Semi-periphery adalah negara dunia kedua dengan tingkat perekonomian yang cukup baik, sehingga berpengaruh dalam dunia. Contohnya India dan China. Sedangkan negara periphery adalah negara dunia ketiga, yaitu negara berkembang. Negara-negara kelas periphery ini sebagian besar berada pada kawasan Asia, Amerika Selatan, dan Afrika. Pada intinya, neo-marxisme membuat sistem internasional dunia menjadi terstruktur, sehingga terdapat sistem tersendiri dalam hubungan antar negara.
Neo-marxisme juga memberikan analisisnya tentang kelas sebagai aktor utama dalam hubungan internasional dan keadilan atau kesetaraan internasional sebagai landasan terpenting. Perbedaan yang paling mendasar antara neo-marxisme dan marxisme adalah kemampuannya yang lebih bersifat konseptual dan metodologis dalam menggunakan teori-teori yang disusun oleh Marx.
Neo-marxisme sendiri, seperti yang telah dijelaskan di atas, sebenarnya merupakan hasil dari teori marxisme. Sehingga aktor dan agenda utama dari teori neo-mearxisme tidak jauh berbeda dengan teori marxisme. Upaya dalam pencapaian perdamaian dan stabilitas keamanan internasional juga hampir sama. Pencapaian perdamaian menurut teori neo-marxisme adalah dengan cara kerjasama antar kelas-kelas sosial yang ada.
Saya pribadi, secara garis besar menyetujui upaya penghapusan kelas-kelas yang diusung oleh teori marxisme dan neo-marxisme. Sehingga pengeksploitasian dari negara-negara kapitalis bisa diminimalisir. Menurut saya, tiap-tiap kelas, seperti kelas borjuis dan proletar dalam teori marxisme, seharusnya bisa saling bekerjasama demi terwujudnya suatu perdamaian dan stabilitas keamanan internasional. Karena jika terdapat salah satu pihak saja yang mendominasi, maka akan berpengaruh terhadap sistem perpolitikan internasional.
Namun menurut sejarah, kelas-kelas
yang ada tersebut sulit untuk ditingkatkan, seperti negara-negara yang berada
di kelas periphery akan sulit untuk meningkatkan kelasnya menjadi
semi-periphery atau core. Bisa dipahami bahwa teori marxisme dan neo-marxisme
ingin menghilangkan kelas-kelas tersebut. Tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa
hal ini akan sulit untuk diwujudkan, mengingat eksploitasi yang terjadi oleh
kelas tertentu terhadap kelas lainnya masih sangat mendominasi dan masih sangat
kentalnya teori interdependensi.
BAB VI
TEORI
KRITIS
Kajian teori kritis dalam ilmu hubungan internasional pada
hakekatnya bukan ide baru. Nilai teori kritis pertama kali muncul pada abad
pencerahan melalui tulisan Kant dan Hegel. Kant dan Hegel mengeluarkan tulisan
yang memuat tinjauan kritis seputar refleksi perkembangan sosial dan masyarakat
saat itu. Masyarakat Eropa pada abad pencerahan merupakan hasil dari pergolakan
melawan batasan-batasan gereja terhadap perkembangan ilmu (alam) saat itu yang
dinilai menyalahi doktrin gereja. Selain itu, masyarakat Eropa berada dalam
suatu kekacauan sosial dan politik karena distribusi power yang tidak simetris.
Sehingga Kant beranggapan persoalan power tersebut akan teratasi apabila terdapat
hukum (internasional) yang mengatur (Devetak, 2004: 146).
Adanya perkembangan ilmu alam sebagai suatu metodologi baru
pada 1960-an berimplikasi pada perkembangan ilmu sosial pada khususnya. Ilmu
sosial kemudian cenderung mengadopsi kaidah ilmiah ilmu alam dalam
konseptualisasi teorinya. Teori kritik pun banyak mendapat pengaruh dengan
menggunakan pendekatan-pendekatan baru dalam mengkaji teorinya. Antara lain
lebih menggunakan ilmu sosiologi, pertama kali dimotori oleh Frankfurt
School. Menurut tradisi Frankfurt School teori kritis muncul
untuk digunakan sebagai atribut suatu filofi yang mepertanyakan kehidupan
politik dan sosial modern melalui suatu metode kritik native. Tindakan tersebut
merupakan usaha secara luas untuk memulihkan perspektif kebebasan dan krtis
terhadap seeautau yang telah dilemhakan oleh tren sosial, budaya, politik,
ekonomi dan teknologi intelektual (Devetak, 2004: 138). Selain itu esensi utama
teori kritis oleh Frankfur School adalah untuk memahami karakter
sentral masyarakat sekarang dengan memahami perkembangan sejarah dan sosialnya
dan menelaah kontradiksi sekarang yang mungkin membuka kemungkinan yang
melampaui masyarakat saat ini (Devetak, 2004: 138).
Adapun karakteristik nilai-nilai teori kritis meliputi
penjelasan yang bersifat “emancipatory“ atau menawarkan kebebasan berpikir
dalam menafsirkan suatu peristiwa. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa
teori kritis bertujuan untuk membuka segala kemungkinan penafsiran yang
terbebas dari segala prasyarat-prasayarat utama yang terdapat dalam teori
mainstream. Karakteristik ini berasal dari kebebasan berpikir oleh Kant dan
Hegel. Kebebasan tersebut membuka peluang bahwa suatu teori hadir untuk
kemudian dikritisi supaya perkembangannya bersifat berkelanjutan sebagaimana
dialektika Hegel. Dialektika Hegel mengungkapkan bahwa suatu ide akan terus
menerus berkembang tanpa henti. Yang menjadi ciri pertama, teori kritis ini
banyak ditemukan dalam ranah ekonomi politik internasional pada era terjadinya
Great Depression sebagai suatu simbol kegagalan kapitalisme dan liberalisasi
ekonomi yang mendatangkan keterpurukan sistem ekonomi dan politik
internasional. Saat itu banyak negara berlomba-lomba mencari pengganti tatanan
ekonomi liberal sehingga beberapa negara kemudian menemukan alternatif yakni
Marxisme sebagai suatu jawaban permasalahan ekonomi liberal yang cenderung
menciptakan dua kelas yakni pemilik modal dan proletar. Negara-negara core
menjadi semakin kaya dengan terus menerus mengeruk keuntungan negara-negara
pinggiran yang secara ekonomi terbelakang tapi kaya sumber daya alam.
Eksploitasi kapital dan modal sehingga terpusat pada negara-negara inti inliah
yang disinyalir mengakibatkan depresi ekonomi.
Karakteristik kedua ialah menolak teori tradisional
(mainstream) yang cenderung memisahkan antara pendekatan subjek dan objektif.
Menurut teori kritis, tidak ada teori yang benar-benar bersifat objektif.
Menurut teori kritis, penjelasan itu pada akhirnya tidak bersifat bebas nilai.
Hal ini berasal dari kecenderungan teori mainstream dalam menolak jika teorinya
mengandung nilai-nilai tertentu yang sudah pasti dipengaruhi oleh suatu
kelompok individu dengan tujuan spesial. Sedangkan bebas nilai menurut teori
kritis adalah, teori itu tidak bisa semata-mata dilepaskan dari subjeknya.
Artinya, teori penjelasan terhadap suatu peristiwa mesti merupakan refleksi apa
yang terjadi di masyarakatnya meliputi sosial, budaya, politik dan ideologinya.
Karakteristik ketiga menyatakan meskipun teori kritis seolah
tidak pernah melibatkan level internasional secara langsung, bukan berarti
wacana internasional kemudian berada di luar perhatiannya. Kant secara jelas
mengungkapkan bahwa apa yang terjadi di lingkup internasional adalah
signifikasi luas terhadap pencapaian emansipasi universal (Devetak, 2004: 140).
Terdapat dua pendekatan dalam memahami teori kritis
sebagaimana yang ditulis oleh Robert Cox (1981), yakni pendekatan problem-solving
dan pendekatan kritis. Pendekatan problem solving atau disebut pula
pendekatan tradisional lebih memfokuskan pada solusi yang diperoleh melalui
pemisahan subjek terhadap objek sehingga dihasilkan suatu solusi yang
benar-benar objektif. Berlawanan dengan itu, pendekatan kritis memfokuskan pada
solusi yang diperoleh melalui konsolidasi subjek dan objek karena menurutnya
tidak ada solusi yang benar-benar objektif dan bebas nilai dari subjeknya,
seperti masyarakat yang dipengaruhi oleh budaya sosial, politik, ekonomi bahkan
ideologi yang melekat sebagai atribut natural society. Menurut
pendekatan ini, teori hubungan internasioanl selalu disituasikan oleh pengaruh
sosial, ekonomi, politik, dan ideologi (Devetak, 2004: 142). Kehadiran
pendekatan ini adalah untuk menjelaskan yang sebelumnya luput dari evaluasi dan
bila mungkin melakukan perubahan (transformation).
OPINI
Lantas apa kontribusi teori kritis terhadap teori hubungan
internasional? Kontribusi teori kritis antara lain menjadi jemabatan ilmu
pengetahuan dengan politik. Hal ini menjadikan ilmu pengetahuan terhadap
pengaruh yang tersituasi oleh keadaan perkembangan sosial, budaya, politik dan
ideologi terhadap politik sangatlah signifikan. Sebagaimana ekonomi dan politik
saling mempengaruhi dalam kajian ekonomi politik internasional. Teori kritis
menghadirkan pendekatan alternatif dalam mengevaluasi suatu persoalan. Teori kritis
hadir sebagai suatu evaluasi teori mainstream hubungan internasional yang
cenderung memisahkan pendekatan subjektif dan objektif dengan dalih mendapatkan
suatu solusi yang benar-benar obyektif. Padahal teori-teori mainstream tersebut
sebagian besar hadir atau lahir guna melayani kepentingan individu dengan
tujuan spesial. Misalnya teori liberal hadir denga postulat ekonomi yang
semestinya diberi ruang gerak sebebas-bebasnya tanpa campur tangan pemerintah.
Kepentingan yang diwakili oleh postulat liberal adalah kepentingan pemilik
modal yang menginginkan kompetisi seluas-luasnya dengan tujuan menghilangkan
batasan-batasan ekonomi seperti proteksionisme dan isolasionisme pemerintah
nasional terhadap barang impor yang masuk (Frieden, 2006). Teori mainstream yang
lain adalah realisme yang mengasumsikan power adalah unsur utama yang
menciptakan kedudukan negara paling krusial. Teori ini muncul sebagai
pembenaran terhadap segala kebijakan negara meliputi ekspansi wilayah, ekonomi,
sphere of influence yang tentu saja bertujuan melayani kepentingan
negara sebagai aktor utama dalam hubungan internasional. Dua contoh di atas
hanyalah sebagian kecil yang kemudian dikritisi oleh teori-teori sesudahnya
misalnya possitivisme, postmodernisme, English school (yang menekankan kajian
studinya pada society)¸constructivisme (yang mengfokuskan kajiannya
pada unsur-unsur terkecil suatu persoalan), feminisme (yang mengkritisi
perkembangan isu seputar gender dalam hubungan internasional dan sebagainya.
Apabila ada yang menanyakan apakah hubungan dari banyak teori tersebut di atas
denga teori kritis, saya menjawabnya sebagai suatu “opsi” atau pilihan bagi
sarjana hubungan internasional demi mendapatkan penjelasan yang luas dan
mendalam terhadap suatu kejadian dengan berkaca pada influence yang
terkondisikan oleh masing-masing (secara relatif) perkembangan/ transformasi
sosial, budaya, ekonomi, politik, dan ideologi masyarakatnya.
BAB
VII
POSTMODERNISME
Selama ini studi dan teori Hubungan
Internasional mengklaim dirinya objektif, bebas nilai, netral dan ilmiah, namun
nyatanya dalam menghasilkan karyanya, para teoritisi hubungan
Internasional sebagian besar ditentukan oleh tempat tinggal mereka, yakni
konstelasi politik internasional dan ruang imajinatif mereka sehingga apa yang
mereka kerjakan adalah penyebaran kekuasaannya melalui penanaman distribusi,
pembatasan, pengontrolan terhadap ruang imajinasi pembaca karya mereka. Jika
diruntut dari genealogi atau dengan kata lain narasi historisisnya dalam sudut
pandang postmodernis, maka Hubungan Internasional sebagai suatu studi lahir di
Wales, Inggris (1991) dan para pengarang atau teoritisinya tidak menempati
ruang hampa imajinatif dalam menjelaskan politik internasional namun mendapat
tempat diruang baca Eropa khususnya dan Dunia Barat umumnya (Maliki dalam
Suryana, 2009). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Hubungan Internasional
yang kita pelajari selama ini adalah interpretasi dari pemikiran dunia barat
jika di runtut dari asal muasal narasi historisisnya. Analisis di atas adalah suatu
studi kasus yang menggunakan prinsip genealogi dalam menganalisis suatu
fenomena. Genealogi dalam studi Hubungan Internasional modern mengonsentrasikan
diri dalam hal penolakan terhadap pemberlakuan teori yang sifatnya universal
(dapat berlaku kapan dan dimana saja) atau teori kepastian dalam membaca
fenomena politik internasional secara terus menerus. Menurut Shapiro, genealogi
menunjukkan asumsi penjelasan bahwa pengetahuan seperti Hubungan Internasional
dari segi pandang realis, liberalis dan marxis adalah perjuangan war of all
against all yang menghasilkan formasi diskursif pengetahuan yang lain
sebagai pemenangnya (Shapiro dalam Suryana, 2009). Genealogi postmodernis dalam
Hubungan Internasional esensinya adalah korelasi antara klaim ilmu pengetahuan
dan kliam power serta otoritas yang kecenderungannya adalah nilai-nilai dari
neorealisme. Jika menggunakan metode genealogi, maka dapat disimpulkan bahwa
neorealisme merupakan transformasi dari realism yang mendapat kontaminasi
nuansa strukturalisme sehingga melahirkan pandangan baru yaitu neorealisme.
Pengetahuan adalah kuasa, dalam
aspek epistemologis Hubungan Internasional pengetahuan mempunya kekuasaan untuk
mendefinisikan, menentukan, menaklukkan kebaikan, kendali pemikiran, kelembutan
jiwa dan kebenaran ontology politik internasional melalui suatu diskursus
teori-teori tekstual maupun teori-teori yang sifatnya intertekstual. Menurut
Der Derian, teorisasi intertekstual jelas-jelas bukan merupakan suatu proses
verifikasi saintifik, bukan juga merupakan anti-saintifik. Pendekatan
intertekstualitas mengambil langkah dan memposisikan dirinya pada srategi self-concious,
yakni menjauhkan diri dari cara-cara formal yang dominan dan
kecenderungannya ahistoris dalah Hubungan Internasional (Der Derian dalam Suryana,
2009). Menurut saya, Hubungan Internasional yang kita pelajari selama ini lebih
menonjolkan aspek teoritis yang rumit dak kompleks namun menarik dari segi
teoritis namun mempunyai kecenderungan lemah dalam model aplikasi realitas
maupun hiper-realitasnya. Jadi, para teoritisi Hubungan Internasional nampaknya
terjebak dalam stagnasi dan imajinasi teoritis mereka dalam memahami dan
memaknai konstelasi Hubungan Internasional sebagai suatu fenomena dan ilmu yang
interdisipliner dari pada memahami realitas dalam Hubungan Internasional yang
ada. Der Derian mengilustrasikan bahwa Hubungan Internasional dimulai denga
kehadiran revolusi dan jejak kaki atau footnote (Der Derian dalam
Suryana, 2009). Der Derian melacak konsep internasional yang disinyalir lahir dari
teks aslinya dalam bahasa Inggris international yang oertam kali
dipekenalkan oleh seorang schoolar liberalis, Jeremy Bentham, Principles
of Morals and Legislation. Lebih jauh lagi, Der Derian membahas bahwa
metode interteksualistas dari wording hubungan internasional sendiri
amat susah dicari narasi historisnya sebagai suatu kesatuan bahasa yang utuh,
yaokni Hubungan dan Internasional. Jadi, Hubungan Internasional
yang kita pelajari sekarang merupakan footnote atau jejak kaki dari yang
berasal dari akar jejak kaki-jejak kaki sumber induk aslinya pun dipertanyakan
kembali, karena ketika dilakukan pelacakan terhadap asalah kata Hubungan
Internasional sendiri malah ditemukan beragam makna yang dinilai valid dan
bukan menghasilkan suatu konsep tunggal yang esensial dari makan Hubungan
Internasional sendiri.
Bertolak dari esensi awalnya sebagai ilmu sosial yang esensisal, maka
postmodernis secara umum dapat dikatakan sebagai suatu abstraksi yang kontras
terhadap bentuk-bentuk nominalisasi ilmu-ilmu sosial atau lebih dikenal dengan
paham positivism. Sebagai anti positivis, konsep teori postmodernisme cenderung
mendobrak dominasi mainstream yang umunya bercorak positivis dengan
mengatakan bahwa ilmu sosial bukanlah sesuatu yang bisa disebut ilmu. Alasannya
adalah karena fenomena sosial adalah sesuatu yang abstrak dan tidak dapat
dibawa keranah-ranah nominal positivis karena sangat berhubungan dengan
pemikiran-pemikiran subyektif dari manusia dan kompleksitasnya. Mungkin dalam
beberapa sistematika teknik penelitian dapat mengadopsi teknik-teknik saintifik
dan dengan standart ilmiah, namun tetap tidak dapt mengkonversikan
gagasan-gagasan yang didapat dari fenomena sosial untuk kemudian diterjemahkan
kedalam metode positivis murni. Maka dari itu, asumsi dari anti-positivis
adalah konseptualisasi manusia adalah makhluk yang subyektif dan dinamis,
sehingga tidak mungkin dikekang dalam pola-pola positivis yang obyektif dan
statis.
Beralih kebahasan postmodernis dalam model lain, yakni diplomasi menegaskan
bahwa pandangn-pandangan postmodernis layak untuk menjadi teori yang digunakan
dalam melihat dan memaknai realitas Hubungan Internasional. Hal ini terbukti
dengan ketepatan prediksi dan analisis postmodernis terhadap pola diplomasi dan
militer saat ini. Diplomasi dengan segala kompleksitasnya sebagaimana prediksi
postmodernis mulai mendapat kontaminasi dari berbagai sindrom simulasi
teknologi. Sebagai contoh, dahulu seorang actor hanya akan berdiplomasi jika
mengenai hal-hal yang menyangkut power dan perang dalam arti engagement war ala
Clausewitz, namun sekarang sebab diplomasi dapat menyerupai berbagai aspek,
misalnya kepemilikan nuklir. Selain itu, bentuk diplomasi juga tidak ;lagi
konvensional seperti adanya pertemuan secara langsung antar pihak-pihak yang
berdiplomasi, sekarang dengan adanya media maka diplomasi dapat dilakuakn tanpa
adanya masalah-masalah parsial dan spasial.
Beralih ke pokok substansi esensial dari postmodernis yang terakhir adalah
ontologis postmodernis. Esensinya, ontologi dalam postmodernisme adalah sejauh
mana objek kritik mempunyai potensi untuk dikritik dari berbagai sisi dan sudut
pandang postmodernis. Jadi, esensi ontologis dari postmodernis adalah kritikan
terhadap mainstream dan positivis yang tanpa henti dan tidak mengenal
kata berakhir. Mereka beranggapan bahwa jika postmodernis telah sampai pada
titik yang disebut akhir, maka mereka akan flashback dan kebali
kepemikiran-pemikiran jaman modernis yang mereka kritisi sendiri. Jadi, dapat
diasumsikan untuk “mempertahankan hidupnya” postmodernis harus terus
menghasilkan kritikan-kritikan yang baru untuk mempertahankan eksistensinya
kembali ke jaman modernis.
BAB VIII
FEMINISME
Pemikiran realisme sebagai salah satu aliran mainstream dalam
hubungan internasional dalam perkembangannya mendapat banyak kritik dan
tantangan dari aliran teori kritis, dalam hal ini feminisme yang muncul untuk
mendobrak kesubordinatan wanita di bawah pria, dimana kesubordinatan ini
kemudian meluas hingga ke ranah hubungan internasional dalam hubungannya dengan
power dan pengetahuan. Teori feminisme berkembang pada era 1990an ketika pada
saat itu Perang Dingin telah berakhir dan para wanita mempertanyakan
signifikansi perang yang tiada akhir yang menjadikan wanita sebagai korban
utama, terutama bagi para janda, ibu yang kehilangan anaknya dan wanita
penghibur di garis depan. Dengan keterlibatannya dalam diskursus positivis dan
non positivis dalam debat besar ketiga, feminisme berusaha mendekonstruksi
realisme yang eksklusif, state-centric dan metanarative . Asumsi dasarnya bahwa
dunia kontemporer hidup dalam dunia gender dimana kualitas yang dikaitkan
dengan maskulinitas seperti rasionalitas dan power dipandang lebih tinggi
daripada kualitas yang dikaitkan dengan feminisitas seperti kapasitas dan
intuisi.
Istilah feminisme dan maskulinisme harus dibedakan ke dalam ranah gender dan bukan sebagai klasifikasi seks. Gender merupakan perilaku dan harapan yang dipelajari secara sosial yang membentuk taksonomi pemikiran maskulinitas dan feminisitas sedangkan seks adalah taksonomi manusia secara biologis pria dan wanita. Secara umum, feminis mempertanyakan diskriminasi yang dibentuk oleh struktur sosial dimana ruang gerak wanita dalam kancah perpolitikan dan kepemimpinan sangat dibatasi oleh budaya patriarki yang meletakkan wanita sebagai pribadi yang ‘lemah’, menurut dan ‘harus dilindungi’ oleh pria. Kondisi ini dapat dilihat dalam bagaimana sistem perkawinan dan akses pengetahuan yang dirasa tidak merugikan wanita. Feminisme ini kemudian menjadi subjek penting dalam hubungan internasional ketika para feminis muncul dan mempertanyakan subjek kajian hubungan internasional yang hanya fokus pada perang, keamanan, dan rasionalitas yang identik dengan sifat maskulin. Salah satu feminis yang vokal menyuarakan penolakan ordinasi maskulinitas adalah Cynthia Enloe. Enloe menolak asumsi bahwa wanita selama ini tidak memiliki signifikansi dalam hubungan internasional sekaligus menolak pandangan bahwa maskulinitas cukup objektif untuk mengakomodasi pandangan pria dan wanita sekaligus.
Feminisme juga mengkritik globalisasi yang dianggap bertanggung jawab atas keadaan yang tidak equal, dengan kemiskinan dan ketidakseimbangan utara-selatan. Saskia Sassen membuktikan bagaimana globalisasi menekan wanita khususnya dalam bidang peningkatan sex tourism, women trafficking dan sistem pernikahan yang menguntungkan pihak pria yang banyak terjadi di negara Afrika. Bentuk eksploitasi wanita ini dapat dilihat dari kebutuhan Malaysia akan tenaga kerja wanita dari Indonesia dan Filipina. Di sisi lain, globalisasi juga memberikan kontribusi positif dengan cara memberdayakan wanita dari akses informasi yang luas setelah Perang Dingin sehingga para feminis bebas membentuk identitas mereka. Globalisasi juga membentuk subjektivitas dan menyediakan perbaikan ekonomi bagi wanita khususnya. Hasilnya, wanita dapat menempati posisi strategis di organisasi internasional.
Dalam kaitannya dengan kebijakan luar negeri, studi feminisme melihat bagaimana rasionalitas pria kemudian membawa pada kebijakan decisive atas nama kepentingan nasional. Signifikani lain feminisme pada hubungan internasional adalah bagaimana feminisme dapat meningkatkan tendensi perdamaian dan kooperasi karena pendekatan-pendekatan yang dibawa oleh feminisme yang jauh dari aplikasi kekerasan dan power yang dekstruktif. Pendekatan feminisme dipercaya dapat mengurangi kecenderungan perang, terbukti dalam studi empiris, wanita lebih sedikit terlibat dalam organisasi internasional yang mengeluarkan keputusan untuk perang . Hal ini kemudian yang menjadi objek skeptisisme saya, bahwa tidak dapat digeneralisir secara sederhana bahwa perempuan tidak akan membuat keputusan untuk perang. Bisa dilihat dalam kebijakan mantan menlu AS – Rice – serta kebijakan menlu Israel – Livni – yang ternyata membawa AS dan Israel ke dalam kebijakan offensive. Rice bahkan menerapkan neokonservatisme-nya untuk mendukung unilateralisme AS ketika menjabat penasihat keamanan nasional.
Sikap persamaan gender dipercaya akan meningkatkan toleransi dan demokrasi yang akan memperbaiki tatanan sistem internasional. Sebaliknya, negara yang menganut diskriminasi wanita terbukti lebih banyak terlibat perang dan aktivitas militer unilateral seperti Afghanistan dan Pakistan. Seperti misalnya pada era pemerintahan Kennedy, para istri diplomat berhasil mendesak AS untuk mengadakan perundingan nuklir dengan Soviet. Sama halnya dengan di Israel-Palestina, women in black berhasil menentang pelaksanaan bom bunuh diri oleh wanita dan keberlangsungan perang yang membuat banyak dari antara wanita harus menjadi janda dan kehilangan anak. Untuk mewujudkan persamaan sosial seperti yang diharapkan, feminis ini kemudian berusaha terlibat lebih jauh dalam proses pembuatan keputusan ekonomi-politik.
Untuk memberikan pondasi kritik yang kuat, para feminis berusaha mendefinisikan dirinya untuk mendapatkan metode yang empiris. Upaya empirisisasi ini kemudian dimanifestasikan ke dalam tiga pengklasifikasian feminisme, yaitu feminisme analitis,empiris dan normatif. Feminisme analitis menggunakan gender sebagai kategori teoretis untuk menyatakan bias dalam konsep hubungan internasional. Dalam perspektif ini, gender dimengerti bukan hanya pembedaan pria-wanita secara biologis namun lebih ke dalam konstruksi sosial yang asimetris tentang maskulinitas-feminisitas. Konsep feminisme dalam hubungan internasional sendiri tidak netral dengan inklusi gender secara murni, namun berasal dari struktur sosial politik dimana unsur hegemoni maskulinitas mengalami institusionalisasi.
Secara empiris, para feminis berargumen bahwa terminologi power, kedaulatan, anarki, keamanan dan level analisis dalam hubungan internasional tidak akan terpisahkan dari pemisahan gender tentang sektor privat dan publik di tatanan domestik dan internasional, yaitu bagaimana konsep ini dapat timbul atas eksklusivitas pria dalam ilmu pengetahuan. Entitas yang lebih rendah – direpresentasikan oleh wanita- harus ditempatkan di bawah entitas yang lebih tinggi yaitu rasionalitas dan negara- dalam hal ini direpresentasikan oleh pria-. Feminis menentang adanya pemisahan publik-privat ini karena menurut mereka sistem anarki internasional akan berdampak pada sistem gender di ranah domestik dan sebagainya.
Dalam level analisis konvensional, negara, individu, dan sistem internasional dipandang sebagai unit yang terpisah. Inilah yang menjadi pekerjaan rumah bagi para feminis yaitu bagaimana medekonstruksi masing-masing level analisis itu. Dekonstruksi feminis terhadap realis juga menyentuh masalah power karena feminis menganggap power sebagai suatu identitas yang kompleks dan yang membentuk personalitas khusus dan bukan akumulasi pengaruh oleh pandangan realis. Perspektif feminisme normatif tidak lagi melihat diskriminasi dalam bentuk oposisi biologis –pria dan wanita- ataupun pemikiran maskulin-feminin. Lebih jauh, feminis normatif melihat politik pengetahuan, yaitu bagaimana dan darimana posisi tertentu didapatkan dari suatu hirarki. Misalnya bagaimana wanita yang memiliki pemikiran kebijakan luar negeri maskulin dipandang lebih tinggi dari pria yang memiliki kebijakan luar negeri feminin.
Selain penggolongan di atas, bagaimana timbulnya suatu diskriminasi juga membentuk taksonomi tersendiri dalam dunia feminisme. Feminisme liberal memandang manusia terlahir dengan hak-hak yang sama, oleh karena itu mereka memperjuangkan hak-hak yang sama bagi laki-laki dan perempuan . Bentuk feminisme yang lain, feminisme marxisme memandang ketidakadilan terbentuk dari struktur kapitalisme yang eksploitatif sehingga dalam mengatasinya, wanita harus mampu mengambil peran dalam sistem kapitalis itu. Feminisme yang terakhir, feminisme radikal, menolak segala bentuk kerjasama laki-laki dan perempuan karena fokusnya adalah pergeseran ordinasi perempuan menggantikan dominasi laki-laki.
Istilah feminisme dan maskulinisme harus dibedakan ke dalam ranah gender dan bukan sebagai klasifikasi seks. Gender merupakan perilaku dan harapan yang dipelajari secara sosial yang membentuk taksonomi pemikiran maskulinitas dan feminisitas sedangkan seks adalah taksonomi manusia secara biologis pria dan wanita. Secara umum, feminis mempertanyakan diskriminasi yang dibentuk oleh struktur sosial dimana ruang gerak wanita dalam kancah perpolitikan dan kepemimpinan sangat dibatasi oleh budaya patriarki yang meletakkan wanita sebagai pribadi yang ‘lemah’, menurut dan ‘harus dilindungi’ oleh pria. Kondisi ini dapat dilihat dalam bagaimana sistem perkawinan dan akses pengetahuan yang dirasa tidak merugikan wanita. Feminisme ini kemudian menjadi subjek penting dalam hubungan internasional ketika para feminis muncul dan mempertanyakan subjek kajian hubungan internasional yang hanya fokus pada perang, keamanan, dan rasionalitas yang identik dengan sifat maskulin. Salah satu feminis yang vokal menyuarakan penolakan ordinasi maskulinitas adalah Cynthia Enloe. Enloe menolak asumsi bahwa wanita selama ini tidak memiliki signifikansi dalam hubungan internasional sekaligus menolak pandangan bahwa maskulinitas cukup objektif untuk mengakomodasi pandangan pria dan wanita sekaligus.
Feminisme juga mengkritik globalisasi yang dianggap bertanggung jawab atas keadaan yang tidak equal, dengan kemiskinan dan ketidakseimbangan utara-selatan. Saskia Sassen membuktikan bagaimana globalisasi menekan wanita khususnya dalam bidang peningkatan sex tourism, women trafficking dan sistem pernikahan yang menguntungkan pihak pria yang banyak terjadi di negara Afrika. Bentuk eksploitasi wanita ini dapat dilihat dari kebutuhan Malaysia akan tenaga kerja wanita dari Indonesia dan Filipina. Di sisi lain, globalisasi juga memberikan kontribusi positif dengan cara memberdayakan wanita dari akses informasi yang luas setelah Perang Dingin sehingga para feminis bebas membentuk identitas mereka. Globalisasi juga membentuk subjektivitas dan menyediakan perbaikan ekonomi bagi wanita khususnya. Hasilnya, wanita dapat menempati posisi strategis di organisasi internasional.
Dalam kaitannya dengan kebijakan luar negeri, studi feminisme melihat bagaimana rasionalitas pria kemudian membawa pada kebijakan decisive atas nama kepentingan nasional. Signifikani lain feminisme pada hubungan internasional adalah bagaimana feminisme dapat meningkatkan tendensi perdamaian dan kooperasi karena pendekatan-pendekatan yang dibawa oleh feminisme yang jauh dari aplikasi kekerasan dan power yang dekstruktif. Pendekatan feminisme dipercaya dapat mengurangi kecenderungan perang, terbukti dalam studi empiris, wanita lebih sedikit terlibat dalam organisasi internasional yang mengeluarkan keputusan untuk perang . Hal ini kemudian yang menjadi objek skeptisisme saya, bahwa tidak dapat digeneralisir secara sederhana bahwa perempuan tidak akan membuat keputusan untuk perang. Bisa dilihat dalam kebijakan mantan menlu AS – Rice – serta kebijakan menlu Israel – Livni – yang ternyata membawa AS dan Israel ke dalam kebijakan offensive. Rice bahkan menerapkan neokonservatisme-nya untuk mendukung unilateralisme AS ketika menjabat penasihat keamanan nasional.
Sikap persamaan gender dipercaya akan meningkatkan toleransi dan demokrasi yang akan memperbaiki tatanan sistem internasional. Sebaliknya, negara yang menganut diskriminasi wanita terbukti lebih banyak terlibat perang dan aktivitas militer unilateral seperti Afghanistan dan Pakistan. Seperti misalnya pada era pemerintahan Kennedy, para istri diplomat berhasil mendesak AS untuk mengadakan perundingan nuklir dengan Soviet. Sama halnya dengan di Israel-Palestina, women in black berhasil menentang pelaksanaan bom bunuh diri oleh wanita dan keberlangsungan perang yang membuat banyak dari antara wanita harus menjadi janda dan kehilangan anak. Untuk mewujudkan persamaan sosial seperti yang diharapkan, feminis ini kemudian berusaha terlibat lebih jauh dalam proses pembuatan keputusan ekonomi-politik.
Untuk memberikan pondasi kritik yang kuat, para feminis berusaha mendefinisikan dirinya untuk mendapatkan metode yang empiris. Upaya empirisisasi ini kemudian dimanifestasikan ke dalam tiga pengklasifikasian feminisme, yaitu feminisme analitis,empiris dan normatif. Feminisme analitis menggunakan gender sebagai kategori teoretis untuk menyatakan bias dalam konsep hubungan internasional. Dalam perspektif ini, gender dimengerti bukan hanya pembedaan pria-wanita secara biologis namun lebih ke dalam konstruksi sosial yang asimetris tentang maskulinitas-feminisitas. Konsep feminisme dalam hubungan internasional sendiri tidak netral dengan inklusi gender secara murni, namun berasal dari struktur sosial politik dimana unsur hegemoni maskulinitas mengalami institusionalisasi.
Secara empiris, para feminis berargumen bahwa terminologi power, kedaulatan, anarki, keamanan dan level analisis dalam hubungan internasional tidak akan terpisahkan dari pemisahan gender tentang sektor privat dan publik di tatanan domestik dan internasional, yaitu bagaimana konsep ini dapat timbul atas eksklusivitas pria dalam ilmu pengetahuan. Entitas yang lebih rendah – direpresentasikan oleh wanita- harus ditempatkan di bawah entitas yang lebih tinggi yaitu rasionalitas dan negara- dalam hal ini direpresentasikan oleh pria-. Feminis menentang adanya pemisahan publik-privat ini karena menurut mereka sistem anarki internasional akan berdampak pada sistem gender di ranah domestik dan sebagainya.
Dalam level analisis konvensional, negara, individu, dan sistem internasional dipandang sebagai unit yang terpisah. Inilah yang menjadi pekerjaan rumah bagi para feminis yaitu bagaimana medekonstruksi masing-masing level analisis itu. Dekonstruksi feminis terhadap realis juga menyentuh masalah power karena feminis menganggap power sebagai suatu identitas yang kompleks dan yang membentuk personalitas khusus dan bukan akumulasi pengaruh oleh pandangan realis. Perspektif feminisme normatif tidak lagi melihat diskriminasi dalam bentuk oposisi biologis –pria dan wanita- ataupun pemikiran maskulin-feminin. Lebih jauh, feminis normatif melihat politik pengetahuan, yaitu bagaimana dan darimana posisi tertentu didapatkan dari suatu hirarki. Misalnya bagaimana wanita yang memiliki pemikiran kebijakan luar negeri maskulin dipandang lebih tinggi dari pria yang memiliki kebijakan luar negeri feminin.
Selain penggolongan di atas, bagaimana timbulnya suatu diskriminasi juga membentuk taksonomi tersendiri dalam dunia feminisme. Feminisme liberal memandang manusia terlahir dengan hak-hak yang sama, oleh karena itu mereka memperjuangkan hak-hak yang sama bagi laki-laki dan perempuan . Bentuk feminisme yang lain, feminisme marxisme memandang ketidakadilan terbentuk dari struktur kapitalisme yang eksploitatif sehingga dalam mengatasinya, wanita harus mampu mengambil peran dalam sistem kapitalis itu. Feminisme yang terakhir, feminisme radikal, menolak segala bentuk kerjasama laki-laki dan perempuan karena fokusnya adalah pergeseran ordinasi perempuan menggantikan dominasi laki-laki.
Secara keseluruhan, agenda dan
tujuan feminisme memang merupakan perjuangan yang patut didukung karena dapat
mensejajarkan posisi pria dan wanita, terutama terkait dengan kenyataan bahwa
talenta dan kemampuan yang dimiliki wanita sering melampui kapasitas pria.
Namun menurut saya pribadi, feminisme ini masih perlu pengembangan lebih jauh
lagi dengan konsep agenda yang lebih jelas, yaitu bagaimana cara konkret untuk
mensejajarkan posisi dua gender tersebut. Selain itu, dekonstruksi feminis
terhadap realis juga cenderung bias untuk diaplikasikan, terutama dalam hal
skeptisismenya terhadap entitas negara.
BAB IX
POLITIK
HIJAU
Konsep
keamanan yang ada saat ini tidak lagi menjelaskan konsep tradisional, tapi
lebih kontemporer dan kompleks. Keamanan yang dulunya bersifat militerisme,
telah mendapat perluasan makna menjadi keamanan manusia (human security) dan
keamanan lingkungan (environmental security). Keterkaitan manusia dengan
lingkungan sangat penting dalam menciptakan keamanan dan perdamaian dunia.
Tentunya, kedua elemen tersebut harus dapat dimasukkan ke dalam pembuat
kebijakan dan kekuasaan antar negara yang biasa disebut green politics. Politik
hijau muncul dan berkembang dalam teori hubungan internasional tidak hanya
menjadi ‘pajangan’ belaka, tetapi juga harus dimaksimalkan potensinya,
mengingat bahwa krisis global yang terjadi saat ini berdampak buruk bagi
ketahanan lingkungan. Pertanyaan besar yang menjadi acuan essay ini adalah
sejauh mana isu keamanan lingkungan dan manusia ini berkembang di dalam studi
hubungan internasional? Bagaimana sistem internasional mempengaruhi politik
lingkungan di setiap negara? Mengapa keamanan lingkungan bersinergi dengan
ketahanan lingkungan hidup?
Konsep Human Security dan Perkembangannya
Pasca perang dingin, human security lahir dalam perluasan konsep dari kemanan militer, diperkuat oleh gelombang globalisasi yang melahirkan arus balik karena beberapa efek negatifnya terhadap negara-negara lemah, kelompok, dan individu tertentu. Upaya memperjuangkan human security merupakan reaksi terhadap masalah-masalah kemanusiaan yang melanda dunia saat ini, mulai dari pengungsi akibat konflik dan kekerasan fisik, penjualan anak-anak dan wanita, masalah pangan, terorisme, perdagangan senjata ilegal, pelanggaran hak asasi manusia, dan sebagainya. Tokoh-tokoh yang telah mempopulerkan konsep tersebut adalah Caroline Thomas, Sorensen, J.T. Matthew, Norman Myers, Neville Brown.
Namun, gagasan mengenai human security sebenarnya membangkitkan kembali definisi keamanan dan bagaimana cara mendapatkan keamanan itu. Tiga kontroversi yang masih diperdebatkan dala konsep keamanan manusia ialah : human security merupakan gagasan negara Barat dalam bungkus yang baru untuk menyebarkan kembali nilai HAM mereka; human security bukanlah hal baru melainkan konsep yang secara luas mencakup isu nonmiliter; definisi dan upaya mencapai human security tiap negara berbeda karena disparitas sudut pandang dan pengalaman. (Edy Prasetyono : 2003)
Menurut UNDP, definisi human security ialah : “first, safety from such chronic threats such as hunger, disease, and repression. And, second, ...protection from sudden and hurtful disruptions in the patterns of daily life --- whether in homes, in jobs or in communities”. (United Nations Development Programme 1994: Human Development Report) Dengan kata lain, konsep yang mencakup “freedom from fear and freedom from want” ini menandai pergeseran hubungan internasional: perubahan norma tentang hubungan antara kedaulatan negara dan hak azasi manusia yang kemudian melahirkan konsep Responsibility to Protect. Sementara itu, Kanada mengkritik konsep human security UNDP yang mengabaikan “human insecurity resulting from violent conflict”. Kanada menganggap bahwa keamanan manusia secara doktrinal harus berdasarkan pada Piagam PBB, Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, dan Konvensi Jenewa.
Terlepas dari perdebatan tersebut, hal yang harus ditekankan dalam konsep human security ialah aspek politik dan operasional yang biasa disebut dengan degree of human agency dan control. Arti dari human agency and control yaitu pencegahan aksi kekerasan yang mungkin dilakukan oleh berbagai aktor terhadap manusia, mungkin negara, kelompok, individu-individu, dan sebagainya. Implementasi dari konsep human security sudah dilakukan ketika kasus Gerakan Aceh Merdeka terjadi. Pentingnya penerapan human security dan peace building dalam kasus Aceh dilatarbelakangi oleh : respon pemerintah menggunakan kekuatan militer berlebihan dan penerapan Daerah Operasi Militer (DOM) terhadap gerakan milisi di Aceh telah terbukti gagal dalam menyelesaikan konflik dan perlawanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM); pengiriman kekuatan militer yang berlebihan dan penerapan Daerah Operasi Militer (DOM) tersebut telah menyebabkan timbulnya pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan pihak militer terhadap masyarakat Aceh.
Semangat Politik Hijau dalam Menjaga Stabilitas Environmental Security
Sejarah yang menjelaskan tentang lingkungan hidup sebenarnya telah diwariskan sejak abad 12. Hal ini dibuktikkan dengan kasus penebangan kayu hutan Babilonia, Yunani, dan Italia ketika peradaban manusia baru berkembang serta adanya konservasi minyak di Mediterania dan peradaban Cina. (Hughes: 1975) Filsuf yang berkontribusi terhadap konsep-konsep lingkungan hidup bernama Rosseau dari Prancis dan Henry David Thoreau dari Amerika. Mereka mulai menggencarkan aspek lingkungan hidup pada masa pencerahan, yang pada akhirnya memunculkan istilah green politics.
Green politics sendiri bermakna ideologi politis, yang sangat kental dengan nuansa ekologis, kelestarian lingkungan hidup, dan demokrasi partisipatoris. Konsep green politics mulai dibangun dalam bentuk gerakan konservatif sejak lahrinya Sierra Club di San Fransisco, tahun 1892. Klub tersebut menitikberatkan pada upaya-upaya konservasi dan preservasi alam. Politik lingkungan juga tak terlepas dari gerakan environementalis dari Jerman, ditandai dengan berdirinya German Green Party (GGP) tahun 1980. Sebagai partai yang sangat atraktif pada masa itu, GGP yang bersimbol bunga matahari di benderanya memiliki 4 pilar prinsipil, yakni: Ecological wisdom, Social justice, Grassroots democracy, Nonviolence. (John Willey : 1995)
Kemunculan rezim lingkungan internasional ditandai oleh pelaksanaan Stockholm Conference pada tahun 1972. Dua puluh tahun kemudian isu lingkungan hidup kembali dengan adanya konferensi di Rio de Janeiro tahun 1992, membahas tentang kemerosotan lingkungan hidup karena pembangunan yang tidak berkelanjutan. Hasil keputusan sidang tersebut bernama ‘Agenda 21’, menghasilkan kesepakatan berupa rencana tindak kegiatan yang disepakati dunia untuk memecahkan lingkungan dan pembangunan. Sejak saat itu pula, konsep pembangunan berkelanjutan (sustainability development) berkembang secara pesat, di Indonesia sendiri dipopulerkan oleh Prof. Emil Salim.
Pembangunan berkelanjutan memiliki beberapa prasyarat. Pertama, menjangkau perspektif jangka panjang melebihi satu-dua generasi sehingga kegiatan pembangunan perlu mempertimbangkan dampak jangka panjang. Kedua, menyadari berlakunya hubungan keterkaitan (interdependency) antar pelaku-pelaku alam, sosial dan buatan manusia. Pelaku alam terdapat dalam ekosistem, pelaku sosial terdapat dalam sistem sosial, dan pelaku buatan manusia dalam sistem ekonomi. Ketiga, memenuhi kebutuhan manusia dan masyarakat masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang memenuhi kebutuhannya. Keempat, pembangunan dilaksanakan dengan menggunakan sumber daya alam sehemat mungkin, limbah-polusi serendah mungkin, ruang-space sesempit mungkin, energi diperbarui semaksimal mungkin, energi tidak-diperbarui sebersih mungkin, serta dengan manfaat lingkungan, sosial, budaya-politik dan ekonomi seoptimal mungkin. Kelima, pembangunan diarahkan pada pemberantasan kemiskinan, perimbangan ekuitas sosial yang adil serta kualitas hidup sosial, lingkungan, dan ekonomi yang tinggi. (Emil Salim : 2003)
Pendekatan green politics terdiri dari dua bagian utama, yakni : ecocentrism dan anthropocentrism. Ekosentrisme dikemukakan oleh Aldo Leopold, berfokus pada komunitas biotik sebagai satu keseluruhan biosfer dan stabilitas komposisi ekologis. Land ethic dan good environmental management telah menjadi kunci utama dalam pandangan filosofis ini. (Leopold : 1949) Ekosentrisme juga sering disebut life-centered, atau deep ecology system. Sedangkan antroposentrisme dikemukakan oleh Arn Naess, yang berfokus pada kewajiban moral manusia untuk menghargai alam karena didasarkan atas kewajiban untuk menghargai sesama sebagai manusia. (Naess:1984) Konsep antroposentris juga biasa disebut dengan human-centered. Dua perspektif tersebut termasuk dalam teori etika lingkungan hidup, yang diartikan sebagai sebuah usaha untuk membangun dasar-dasar rasional bagi sebuah sistem prinsip-prinsip moral yang dapat dipakai sebagai panduan bagi upaya manusia untuk memperlakukan ekosistem alam dan lingkungan sekitarnya. (Taylor: 1999)
Fenomena pemanasan global dan perubahan iklim telah menjadi isu utama bagi kelestarian lingkungan hidup. Dampak yang terjadi pun meluas sampai ke permasalahan krisis energi, krisis pangan, tentunya juga degradasi lingkungan. Sejak dicanangkannya Protokol Kyoto tahun 1997, Amerika Serikat termasuk negara penentang dan tidak meratifikasi kesepakatan tersebut. AS merasa dirugikan dengan adanya usulan mereduksi emisi karbon dioksida sebesar 30%-50%, perusahaan domestik pun akan bangkrut. Sebaliknya, AS menuduh negara berkembang yang tidak memiliki manajemen sampah yang baik, sehingga menghasilkan gas metana (gas paling berbahaya bagi kerusakan ozon, di atas C02). Titik penyebab utama permasalahan tersebut adalah dominasi penggunaan perspektif antroposentrisme dalam melestarikan lingkungan hidup. Indonesia sebagai tuan rumah penyelenggaraan United Nations Framework on Climate Change Conference 2007 telah menganjurkan adanya preferensi ekosentrisme sebagai strategi kebijakan nasional setiap negara. Implementasi green politics dalam menstabilkan environmental security tidak harus dari kalangan birokrat, tetapi semua lapisan bertanggung jawab atasnya. Sebagai generasi muda, sudah sepatutnya melestarikan lingkungan hidup dimulai sejak dini dan dari lingkup paling kecil (keluarga).
Lingkungan hidup memang menjadi isu area utama ketiga setelah keamanan internasional dan ekonomi global. (Porter dan Brown : 1996) Meskipun cenderung bersifat low political issues, lingkungan hidup dan intervensi humanisme mampu membawa pengaruh besar bagi sistem hubungan internasional. Pembuat kebijakan dan pengambil keputusan senantiasa memprioritaskan unsur sosial humanis dan keamanan bersama (collective security) di atas kepentingan yang hanya bersifat power politics. Salah satu cara paling sederhana untuk menjaga kelestarian lingkungna hidup ialah sosialisasi penghematan energi dan penerapan hemat listrik dan air di rumah, membuang sampah di tempatnya, dan melakukan penghijauan satu jiwa satu pohon (minimal). Keamanan internasional telah mengkorelasi aspek humanisme (manusia) dan ekologis (lingkungan) secara komprehensifdan sinergis. Semakin intensif kebijakan tersebut berlaku di sektor domestik, semakin cepat perdamaian keberlanjutan tercapai.
Konsep Human Security dan Perkembangannya
Pasca perang dingin, human security lahir dalam perluasan konsep dari kemanan militer, diperkuat oleh gelombang globalisasi yang melahirkan arus balik karena beberapa efek negatifnya terhadap negara-negara lemah, kelompok, dan individu tertentu. Upaya memperjuangkan human security merupakan reaksi terhadap masalah-masalah kemanusiaan yang melanda dunia saat ini, mulai dari pengungsi akibat konflik dan kekerasan fisik, penjualan anak-anak dan wanita, masalah pangan, terorisme, perdagangan senjata ilegal, pelanggaran hak asasi manusia, dan sebagainya. Tokoh-tokoh yang telah mempopulerkan konsep tersebut adalah Caroline Thomas, Sorensen, J.T. Matthew, Norman Myers, Neville Brown.
Namun, gagasan mengenai human security sebenarnya membangkitkan kembali definisi keamanan dan bagaimana cara mendapatkan keamanan itu. Tiga kontroversi yang masih diperdebatkan dala konsep keamanan manusia ialah : human security merupakan gagasan negara Barat dalam bungkus yang baru untuk menyebarkan kembali nilai HAM mereka; human security bukanlah hal baru melainkan konsep yang secara luas mencakup isu nonmiliter; definisi dan upaya mencapai human security tiap negara berbeda karena disparitas sudut pandang dan pengalaman. (Edy Prasetyono : 2003)
Menurut UNDP, definisi human security ialah : “first, safety from such chronic threats such as hunger, disease, and repression. And, second, ...protection from sudden and hurtful disruptions in the patterns of daily life --- whether in homes, in jobs or in communities”. (United Nations Development Programme 1994: Human Development Report) Dengan kata lain, konsep yang mencakup “freedom from fear and freedom from want” ini menandai pergeseran hubungan internasional: perubahan norma tentang hubungan antara kedaulatan negara dan hak azasi manusia yang kemudian melahirkan konsep Responsibility to Protect. Sementara itu, Kanada mengkritik konsep human security UNDP yang mengabaikan “human insecurity resulting from violent conflict”. Kanada menganggap bahwa keamanan manusia secara doktrinal harus berdasarkan pada Piagam PBB, Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, dan Konvensi Jenewa.
Terlepas dari perdebatan tersebut, hal yang harus ditekankan dalam konsep human security ialah aspek politik dan operasional yang biasa disebut dengan degree of human agency dan control. Arti dari human agency and control yaitu pencegahan aksi kekerasan yang mungkin dilakukan oleh berbagai aktor terhadap manusia, mungkin negara, kelompok, individu-individu, dan sebagainya. Implementasi dari konsep human security sudah dilakukan ketika kasus Gerakan Aceh Merdeka terjadi. Pentingnya penerapan human security dan peace building dalam kasus Aceh dilatarbelakangi oleh : respon pemerintah menggunakan kekuatan militer berlebihan dan penerapan Daerah Operasi Militer (DOM) terhadap gerakan milisi di Aceh telah terbukti gagal dalam menyelesaikan konflik dan perlawanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM); pengiriman kekuatan militer yang berlebihan dan penerapan Daerah Operasi Militer (DOM) tersebut telah menyebabkan timbulnya pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan pihak militer terhadap masyarakat Aceh.
Semangat Politik Hijau dalam Menjaga Stabilitas Environmental Security
Sejarah yang menjelaskan tentang lingkungan hidup sebenarnya telah diwariskan sejak abad 12. Hal ini dibuktikkan dengan kasus penebangan kayu hutan Babilonia, Yunani, dan Italia ketika peradaban manusia baru berkembang serta adanya konservasi minyak di Mediterania dan peradaban Cina. (Hughes: 1975) Filsuf yang berkontribusi terhadap konsep-konsep lingkungan hidup bernama Rosseau dari Prancis dan Henry David Thoreau dari Amerika. Mereka mulai menggencarkan aspek lingkungan hidup pada masa pencerahan, yang pada akhirnya memunculkan istilah green politics.
Green politics sendiri bermakna ideologi politis, yang sangat kental dengan nuansa ekologis, kelestarian lingkungan hidup, dan demokrasi partisipatoris. Konsep green politics mulai dibangun dalam bentuk gerakan konservatif sejak lahrinya Sierra Club di San Fransisco, tahun 1892. Klub tersebut menitikberatkan pada upaya-upaya konservasi dan preservasi alam. Politik lingkungan juga tak terlepas dari gerakan environementalis dari Jerman, ditandai dengan berdirinya German Green Party (GGP) tahun 1980. Sebagai partai yang sangat atraktif pada masa itu, GGP yang bersimbol bunga matahari di benderanya memiliki 4 pilar prinsipil, yakni: Ecological wisdom, Social justice, Grassroots democracy, Nonviolence. (John Willey : 1995)
Kemunculan rezim lingkungan internasional ditandai oleh pelaksanaan Stockholm Conference pada tahun 1972. Dua puluh tahun kemudian isu lingkungan hidup kembali dengan adanya konferensi di Rio de Janeiro tahun 1992, membahas tentang kemerosotan lingkungan hidup karena pembangunan yang tidak berkelanjutan. Hasil keputusan sidang tersebut bernama ‘Agenda 21’, menghasilkan kesepakatan berupa rencana tindak kegiatan yang disepakati dunia untuk memecahkan lingkungan dan pembangunan. Sejak saat itu pula, konsep pembangunan berkelanjutan (sustainability development) berkembang secara pesat, di Indonesia sendiri dipopulerkan oleh Prof. Emil Salim.
Pembangunan berkelanjutan memiliki beberapa prasyarat. Pertama, menjangkau perspektif jangka panjang melebihi satu-dua generasi sehingga kegiatan pembangunan perlu mempertimbangkan dampak jangka panjang. Kedua, menyadari berlakunya hubungan keterkaitan (interdependency) antar pelaku-pelaku alam, sosial dan buatan manusia. Pelaku alam terdapat dalam ekosistem, pelaku sosial terdapat dalam sistem sosial, dan pelaku buatan manusia dalam sistem ekonomi. Ketiga, memenuhi kebutuhan manusia dan masyarakat masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang memenuhi kebutuhannya. Keempat, pembangunan dilaksanakan dengan menggunakan sumber daya alam sehemat mungkin, limbah-polusi serendah mungkin, ruang-space sesempit mungkin, energi diperbarui semaksimal mungkin, energi tidak-diperbarui sebersih mungkin, serta dengan manfaat lingkungan, sosial, budaya-politik dan ekonomi seoptimal mungkin. Kelima, pembangunan diarahkan pada pemberantasan kemiskinan, perimbangan ekuitas sosial yang adil serta kualitas hidup sosial, lingkungan, dan ekonomi yang tinggi. (Emil Salim : 2003)
Pendekatan green politics terdiri dari dua bagian utama, yakni : ecocentrism dan anthropocentrism. Ekosentrisme dikemukakan oleh Aldo Leopold, berfokus pada komunitas biotik sebagai satu keseluruhan biosfer dan stabilitas komposisi ekologis. Land ethic dan good environmental management telah menjadi kunci utama dalam pandangan filosofis ini. (Leopold : 1949) Ekosentrisme juga sering disebut life-centered, atau deep ecology system. Sedangkan antroposentrisme dikemukakan oleh Arn Naess, yang berfokus pada kewajiban moral manusia untuk menghargai alam karena didasarkan atas kewajiban untuk menghargai sesama sebagai manusia. (Naess:1984) Konsep antroposentris juga biasa disebut dengan human-centered. Dua perspektif tersebut termasuk dalam teori etika lingkungan hidup, yang diartikan sebagai sebuah usaha untuk membangun dasar-dasar rasional bagi sebuah sistem prinsip-prinsip moral yang dapat dipakai sebagai panduan bagi upaya manusia untuk memperlakukan ekosistem alam dan lingkungan sekitarnya. (Taylor: 1999)
Fenomena pemanasan global dan perubahan iklim telah menjadi isu utama bagi kelestarian lingkungan hidup. Dampak yang terjadi pun meluas sampai ke permasalahan krisis energi, krisis pangan, tentunya juga degradasi lingkungan. Sejak dicanangkannya Protokol Kyoto tahun 1997, Amerika Serikat termasuk negara penentang dan tidak meratifikasi kesepakatan tersebut. AS merasa dirugikan dengan adanya usulan mereduksi emisi karbon dioksida sebesar 30%-50%, perusahaan domestik pun akan bangkrut. Sebaliknya, AS menuduh negara berkembang yang tidak memiliki manajemen sampah yang baik, sehingga menghasilkan gas metana (gas paling berbahaya bagi kerusakan ozon, di atas C02). Titik penyebab utama permasalahan tersebut adalah dominasi penggunaan perspektif antroposentrisme dalam melestarikan lingkungan hidup. Indonesia sebagai tuan rumah penyelenggaraan United Nations Framework on Climate Change Conference 2007 telah menganjurkan adanya preferensi ekosentrisme sebagai strategi kebijakan nasional setiap negara. Implementasi green politics dalam menstabilkan environmental security tidak harus dari kalangan birokrat, tetapi semua lapisan bertanggung jawab atasnya. Sebagai generasi muda, sudah sepatutnya melestarikan lingkungan hidup dimulai sejak dini dan dari lingkup paling kecil (keluarga).
Lingkungan hidup memang menjadi isu area utama ketiga setelah keamanan internasional dan ekonomi global. (Porter dan Brown : 1996) Meskipun cenderung bersifat low political issues, lingkungan hidup dan intervensi humanisme mampu membawa pengaruh besar bagi sistem hubungan internasional. Pembuat kebijakan dan pengambil keputusan senantiasa memprioritaskan unsur sosial humanis dan keamanan bersama (collective security) di atas kepentingan yang hanya bersifat power politics. Salah satu cara paling sederhana untuk menjaga kelestarian lingkungna hidup ialah sosialisasi penghematan energi dan penerapan hemat listrik dan air di rumah, membuang sampah di tempatnya, dan melakukan penghijauan satu jiwa satu pohon (minimal). Keamanan internasional telah mengkorelasi aspek humanisme (manusia) dan ekologis (lingkungan) secara komprehensifdan sinergis. Semakin intensif kebijakan tersebut berlaku di sektor domestik, semakin cepat perdamaian keberlanjutan tercapai.
No comments:
Post a Comment