Tuesday, 2 September 2014

Konflik-Konflik Ilmu Politik



RESUME
KONFLIK-KONFLIK ILMU POLITIK


A.    Pengertian Konflik
Konflik adalah sebuah gejala sosial yang selalu terdapat didalam setiap masyarakat dan dalam setiap kurun waktu. Mengenai pengertian konflik, perumusannya merentang dari pengertian yang bersifat lunak sampai kepada pengertian yang mengandung unsur kekerasan didalamnya. Pengertian konflik yang berunsur kekerasan, salah satunya dikemukakan oleh Robert Ted Gurr. Menurutnya agar sebuah hubungan sosial dapat disebut konflik, maka paling tidak harus memenuhi empat ciri. Keempat ciri tersebut adalah :
a.       Ada dua atau lebih pihak yang terlibat.
b.      Mereka terlibat dalam tindakan-tindakan yang saling memusuhi.
c.       Mereka menggunakan tindakan-tindakan kekerasan yang bertujuan untuk menghancurkan, melukai , dan menghalang-halangi lawannya dan.
d.      Interaksi yang bertentangan ini bersifat terbuka sehingga bisa dideteksi dengan mudah oleh para pengamat independen.

Pengertian konflik oleh Gurr ini bermuara pada terjadinya kekerasan, namun menurut Schelling, konflik terjadi manakal tujuan, kebutuhan dan nilai-nilai kelompok yang bersaing bertabrakan dan akibatnya terjadilah agresi, walaupun belum tentu berbentuk kekerasan.
Pengertian lain dari konflik dapat diartikan sebagai “ setiap atau perbedaan pendapat antara paling tidak dua orang atau kelompok “. Sementara Ramlan Surbakti mengatakan bahwa konflik berhubungan dengan “ benturan “ seperti perbedanaan pendapat, persaingan dan pertentangan antara individu-individu kelompok dengan kelompok, individu dengan kelompok, yang masing-masing mempunyai kepentingan yang berbeda.
Pengetian konflik seperti yang dikemukakan oleh Gurr diatas, maka yang dikategorikan konflik apabila mengarah pada konflik fisik, sehingga konflik lisan dalam bentuk debat, polemik, perbedaan pendapat, dan yang hanya saling menyerang dengan kata-kata, itu tidak bisa disebut konflik. Menurut Maswadi Rauf, Konflik lisan pun bisa dikategorikan sebagai konflik. Hal ini seperti diungkapkan bahwa ;
“ Konflik lisan dapat dikategorikan sebagai konflik karena sudah terlihat adanya pertentangan didalamnya meskipun tindakan kekerasan yang melibatkan benda-benda fisik belum terjadi. Bila konflik hanya terbatas pada tindakan kekerasan secara fisik, maka seharusnya tidak ada istilah seperti conflict of interest, conflict ideas, dan lain sebagainya yang lebih banyak mengacu pada konflik lisan “

Alo liliweri meragukan dari berbagi sumber mengenai definisi konflik. Istilah konflik dapat di rangkum dan diartikan sebagai berikut :
1)      Konflik adalah bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan oleh individu atau kelompok karena mereka yang terlibat memiliki perbedaan sikap, kepercayaan, nilai-nilai, serta kebutuhan ;
2)      Hubungan pertentangan antara dua pihak atau lebih ( individu maupun kelompok ) yang memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran tertentu, namun diliputi pemikiran , perasaan atau perbuatan yang tidak sejalan;
3)      Pertentangan atau pertikaian karena ada perbedaan dalam kebutuhan , nilai, dan motivasi pelaku atau yang terlibat didalamnya;
4)      Suatu proses yang terjadi ketika suatu pihak secara negatif mempengaruhi pihak lain, dengan melakukan kekerasan fisik yang membuat orang lain perasaan serta fisik nya terganggu;
5)      Bentuk pertentangan yang bersifat fungsional karena pertentangan semacam itu mendukung tujuan kelompok dan memperbarui tampilan, namun disfungsional karena menghilangkan tampilan kelompok yang sudah ada;
6)      Proses mendapatkan monopoli ganjaran, kekuasaan, pemikiran , dengan menyingkirkan atau melemahkan  pesaing;
7)      Suatu bentuk perlawanan yang melibatkan dua pihak secara antagonis;
8)      Kekacauan rangasangan kontradiktif dalam diri individu.

Uraian diatas juga menunjukan bahwa dalam setiap konflik terdapat beberapa unsur sebagai berikut :
1.      Ada dua pihak yang terlibat.
2.      Ada tujuan yang dijadikan sasaran konflik , tujuan itulah yang menjadi sumber konflik.
3.      Ada perbedaan pikiran, perasaan, tindakan diantara pihak yang terlibat untuk mendapatkan atau mencapai tujuan.
4.      Ada situasi konflik antara dua pihak yang bertentangan.
Menurut Gluckman, konflik tidak selalu sama, ada konflik individual, ada konflik kelompok, konflik tertutup , dan ada konflik terbuka. Konflik kepentingan dalam suatu kelompok selalu ada sepankang waktu , setidaknya yang tersembunyi. Konflik pada penyelenggaraan Pilkada disebut dengan konflik politik karena yang terjadi mempunyai keterkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan maupun dengan jabatan politik, atau terkait dengan permasalahan terkait who gets what, when and how.
Sementara itu, esensi politik adalah konflik dan konsensus. Dengan begitu, di dalam kehidupan manusia/masyarakat terdapat dua potensi yang saling bertolak belakang antara satu dengan yang lainnya yaitu potensi “ konflik “ dan potensi “ damai/konsensus”. Kedua potensi itu bagaikan dua sisia mata uang yang tidak dapat dipisahkan stu dang lainya. Jadi potensi konflik dan damai menyatu dalam kehidupan masyarakat yang sewaktu-waktu dapat muncul silih berganti. Potensi konflik akan muncul lebih kuat apabila manusia terlalu mengutamakan kepentinga individu sehingga terjadi dominasi bilamana manusia lebih mengutamakan kepentingan kelompok  yang dilandasi oleh nilai dan norma sosial yang pada gilirannya akan menciptakan suatu kedamaian.

B.     Penyabab Konflik
Untuk dapat menyelesaikan konflik yang terjadi di masyarakat, harus diketahui penyebab konflik yang melatarbelakanginya. Terkait dengan latar belakang munculnya konflik, menurut William Chang, “ konflik sosial tidak hanya berakar pada ketidak puasan batin, kecemburuan, iri hati, kebencian, masalah perut, masalah tanah, masalah tempat tinggal, masalah pekerjaan, masalaha uang, dan masalah kekuasaan. Namun menurutnya, emosi manusia sesaatpun bisa memicu terjadinya konflik sosial “.
Maswadi Rauf mengidentifikasi adanya tiga hal terkait dengan penyebab terjadinya konflik, yakni ; pertama, posisi dan sumber-sumber kekuasaa, kedua tingginya penghargaan terhadap posisi politik, serta ketiga, kesempatan untuk memperoleh sumber daya yang langka.
Dalam kajian, latar belakang terjadinya kinflik juga sering dipicu adanya pemanfaatan norma/aturan yang berlaku. Aturan sering bersifat ambigu, dan sifat ambiguitas itu sering dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu. Tujuan memanipulasi norma adalah untuk kepentingan politik dan akan terjadi benturan atau konflik, yang diawali dengan konflik norma dan konflik kepentingan, dengan tema sentral memperebutkan kekuasaan.
UU No. 22 Tahun 2007 tentang  Penyelenggaraan Pemilihan Umum memasukkan pemilihan Kepala Daerah kedalam rezim Pemilu. Seperti yang dikatakan oleh Robet Dahl bahwa  “ dua dari enam ciri lembaga-lembaga politik yang dibutuhkan oleh demokrasi skala besar adalah berkaitan dengan pemilu, yaitu para pejabat yang dipilih dan Pemilu yang bebas, adil dan berkala “.
Sementara itu kriteria Pemilu Demokratis adalah :
1.      Semua orang dewasa memiliki hak suara
2.      Pemilu secara teratur dalam batas waktu yang ditentukan
3.      Semua kursi di legislatif adalah subyek yang dipilih dan dikompetisikan
4.      Tidak ada kelompok substansi ditolak kesempatannya untuk membentuk partai dan mengajukan kandidat
5.      Administrator Pemilu harus bertindak adil, tidak ada pengecualian hukum, tanpa kekerasan, tanpa intimidasi kepada kandidat untuk memperkenalkan pandangan atau pemilih untuk mendiskusikannya.
6.      Pilihan dilakukan dengan bebas dan rahasia, dihitung dan dilaporkan secara jujur, dan di konversi menjasi kursi legislatif sebagaimana ditentukan oleh peraturan
7.      Hasil pilihan disimpan di kantor dan sisanya disimpan sampai hasil pemilihan diperoleh.

Kriteria Pemilu demokratis diatas mengacu pada Pemilu legislatif , namun begitu pastilah berlaku pula bagi Pemilu untuk mengisi jabatan di lembaga eksekutif. Agar Pemilu demokratis bisa dilakukan secara berkala/ berkesinambungan, perlu didukung oleh kondisi berikut :
1.      Adanya pengadilan Independen yang menginterprestasikan peraturan Pemilu
2.      Adanya lembaga administrasi yang jujur, kompeten, dan non partisan untuk menjalankan Pemilu.
3.      Adanya pembangunan sistem kepartaian yang cukup terorganisir untuk meletakkan pemimpin dan kebijakan diantara alternatif kebijakan yang dipilih
4.      Penerimaan komunitas politik terhadap aturan main tertentu dari struktu dan pembatasan dalam mencapai kekuasaan

Konflik harus diakui keberadaannya, dikelola, dan diubah menjadi suatu kekuatan bagi perubahan yang positif. Coser menyatakan bahwa konflik adalah suatu komponen penting dalam setiap interaksi sosial. Oleh karena itu menurut Coser konflik tidak perlu dihindari, sebab “ konflik dapat menyumbang banyak kelestarian kehidupan sosial, bahkan mempererat hubungan antar anggota masyarakat”.
Disamping itu, bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang memiliki keragaman budaya. Setiap budaya memiliki kearifan-kearifan tersendiri dalam menyikapi permasalahan hidup yang dihadapi, termasuk didalamnya kearifan dalam menyelesaikan konflik. Kearifan-kearifan seperti inilah yang sering disebut sebagia kearifan lokal ( local wisdom ). Cara penyelesaian konflik lebih tepat jika menggunakan model-model penyelesaian yang disesuaikan dengan kondisi wilayah serta budaya setempat.
Konflik tidak selamanya berakibat negatif. Jika bisa dikelola dengan baik, konflik justru bisa mengahasilkan hal-hal yang positif, misalnya, sebagai pemicu perubahan dalam masyarakat, memperbarui kualitas keputusan, menciptakan inovasi dan kreativitas, sebagai sarana evaluasi, dan lain sebagainya. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa jika konflik tidak dikelola dengan baik dan benar, maka akan menimbulkan dampaak negatif dan merugikan masyarakat.

C.    Konflik-konflik Politik
Indonesia sebagai sebuah bangsa, sejak awal kemerdekaan hingga era reformasi mengalami perjalanan konflik yang luar biasa, baik dalam bentuk, sifat dan jenis, maupun dalam eskalasinya yang beragam, kompleks dan multi dimensi. Sejak era pemerintahan Soekarno (1945-1965), Soeharto (1966-1998), sampai pada masa pemerintahan di era reformasi (1999-2006), gejolak konflik dan kekerasan terjadi secara bertubi-tubi dari lingkup komunitas lokal, regional sampai tingkat nasional. Sejauh pengamatan yang dapat disaksikan bahwa fenomena konflik sosial politik di Indonesia sampai tahun 2006 menunjukkan intesitas yang semakin tinggi serta semakin memprihatikan. Dalam catatan hasil laporan penelitian yang di lakukan, konflik hampir terjadi di seluruh wilayah Indonesia (Jurnal PSK, Edisi II, April 2000). Tahun 1996 sampai masa reformasi di tahun 2000, inventarisasi kasus-kasus konflik kekerasan mencapai 628 kasus dengan perincian; tahun 1996 terjadi 24 konflik; tahun 1999 terjadi 210 kasus konflik; tahun 2000 terjadi 230 kasus konflik, tahun 2006 konflik kekerasan yang terjadi dari tingkat komunal sampai nasional mencapai 240 kasus.
Sebagai contoh, diambil dari  kasus Konflik yang terjadi di Kalimantan Barat, yang merupakan konflik antar Suku Dayak dan Suku Madura tahun 1996-1999, walau pun ini hanyalah konflik antar suku, namun menyangkut pemerintahan. Pemerintahan harus berperan aktif dalam penanganan masalah yang ada.
1.      Latar belakang konflik
Keragaman suku bangsa merupakan kekuatan bangsa Indonesia. Kemampuan untuk mengelola keragaman suku bangsa yang besar diperlukan untuk mencegah terjadinya perpecahan yang akhirnya akan mengganggu kesatuan bangsa.
Kerusuhan dan pertikaian yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia menunjukkan antara lain kurangnya kemampuan pemerintah dalam mengatasi penyebab terjadinya konflik sosial antar masyarakat. Konflik muncul dengan menggunakan simbol-simbol etnis, agama, dan ras. Hal ini kemungkinan terjadi akibat adanya akumulasi "tekanan" secara mental, spiritual, politikm sosial, budaya dan ekonomi yang dirasakan oleh sebagian masyarakat.
Seperti halnya konflik antar etnis yang terjadi di Kalimantan Barat, kesenjangan perlakuan aparat birokrasi dan aparat hukum terhadap Suku Asli Dayak dan Suku Madura menimbulkan kekecewaan yang mendalam yang meledak dalam bentuk konflik -konflik horizontal. Masyarakat Dayak yang termarjinalisasi semakin terpinggirkan oleh kebijakan-kebijakan yang diskriminatif yang mengeksploitasi kekayaan alam mereka. Sementara penegakan hukum terhadap salah satu kelompok tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kasus yang terjadi ini menunjukkan sulitnya penegakan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah penyebab terjadinya konflik horizontal di Kalimantan Barat serta penanganan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat setempat.
Kebudayaan yang berbeda seringkali dijadikan dasar penyebab timbulnya suatu konflik pada masyarakat yang berbeda sosial budaya. Demikian juga yang terjadi pada konflik Dayak dan Madura yang terjadi pada akhir tahun 1996 yaitu terjadinya kasus Sanggau Ledo, Kabupaten Bengkayang (sebelum pertengahan tahun 1999 termasuk Kabupaten Sambas), di Kalimantan Barat. Konflik social sepertinya agak sulit terpisahkan dari dinamika kehidupan masyarakat Kalimantan. Setelah itu, pertikaian antar-etnis terjadi lagi di Sambas, lalu disusul di Kota Pontianak, dan terakhir di Sampit serta menyebar ke semua wilayah di Kalimantan Tengah.
Konflik yang dipicu oleh persoalan yang sederhana, menjadi kerusuhan dan di identifikasi pemicu pecahnya konflik adalah : adanya benturan budaya etnis lokal dengan etnis pendatang, lemahnya supremasi hukum, adanya tindak kekerasan. Benturan budaya ini sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh kesombongan dan ketidakpedulian etnis Madura terhadap hukum adat dan budaya lokal yang sangat dihormati masyarakat setempat seperti hak atas kepemilikan tanah.

2.      Penanganan yang dilakukan Pemerintah
Lemahnya supremasi hukum terlihat dari perlakuan yang ringan diberikan pada masyarakat Madura. Dalam hal ini untuk menghindari keadaan yang lebih tidak terkendali lagi seperti terjadinya tindakan kekerasan, pembunuhan, pembakaran dan pengusiran yang berkepanjangan, maka untuk sementara waktu orang Dayak menyatakan sikap yaitu :
1)      Untuk etnis Madura yang masih berada di wilayah Kalimantan Barat agar secepatnya dikeluarkan atau diungsikan demi keselamatan dan keamanan mereka karena tidak ada jaminan untuk itu. Terlebih dengan tidak cukupnya aparat keamanan menjangkau wilayah rawan konflik.
2)      Menolak pengembalian pengungsi etnis Madura untuk batas waktu yang tidak ditentukan karena tidak adanya suatu jaminan perubahan sikap dari etnis Madura dan juga dikhawatirkan adanya tindakan balas dendam secara langsung maupun tidak langsung.
Sikap ini ditanggapi positif oleh aparat penegak hukum maupun masyarakat karena adanya keterbatasan aparat yang tidak dapat menjangkau seluruh wilayah Propinsi Kalimantan, maka demi keamanan kedua belah pihak untuk sementara suku Madura harus dilokalisir pada daerah yang lebih aman. Selain itu dalam upaya penanganan konflik yang terjadi ini dilakukan juga beberapa cara yaitu :
1)      Untuk sementara waktu yang tidak dapat ditentukan batasnya, etnis Dayak dan Melayu sepakat tidak menerima kembali etnis Madura di bumi Kalimantan terutama di daerah konflik . Hal ini dilakukan agar tidak terjadi bentrokan di antara mereka karena sangat rentan tersulut oleh isu yang akan membakar kemarahan kedua belah pihak;
2)      Rehabilitasi bangunan yang rusak akibat pengrusakan dan pembakaran terhadap infrastruktur masyarakat umum juga dilakukan agar dapat berjalannya kegiatan masyarakat sebagaimana mestinya. Moral dan mental masyarakat juga perlu mendapat perhatian dan pembinaan agar terwujud suatu rekonsiliasi yang damai dan melibatkan kembali seluruh tokoh masyarakat;
3)      Re-evakuasi dilakukan bagi korban konflik ke daerah yang lebih aman. Untuk itu perhatian terhadap keamanan mereka di daerah pengungsian harus didukung oleh pihak keamanan sampai mereka mendapat tempat yang layak;
4)      Dialog antar etnis yang berkesinambungan dengan memanfaatkan lembaga adat masyarakat perlu dilakukan dalam proses pembentukan kerjasama mengakhiri konflik yang berkepanjangan;
5)      Demikian juga dengan penegakkan hukum terhadap pelaku pelanggaran hukum perlu dilakukan secara konsisten dan adil tanpa berpihak pada etnis tertentu selain itu kemampuan personil petugas keamanan perlu ditingkatkan.


D.    Upaya penyelesaian Konflik
Berbagai konflik di Indonesia sangat penting artinya bagi bangsa Indonesia dan akan berpengaruh terhadap; Pertama, kestabilan negara dan partisipasi masyarakat Indonesia di berbagai bidang, mendorong kokohnya demokrasi politik, mantapnya ekonomi dan tangguhnya keamanan kawasan, mengukukan kembali Indonesia yang menjadi negara yang selalu di perhitungkan dalam percaturan politik Internasional. Kedua, terbebasnya kawasan Indonesia dari keadaan konflik internal yang berkepanjangan, dapat lebih fokus untuk pencapaian agenda-agenda penting nasional, berbagai isu regional maupun global. Ketiga, teratasinya konflik di di kawasan Indonesia bedampak memantapkan kestabilan di berbagai bidang kegiatan di kawasan Asia Tenggara. Keempat, memberi ruang sosial yang kondusif guna tercapainya akselerasi partisipasi dan pemberdayaan politik, ekonomi, pemulihan ketentraman dan penguatan nilai sosial budaya masyarakat dari berbagai lapisan sosial serta penguatan wibawa pemerintah.
Pada dasarnya konflik yang terjadi di Indonesia dengan bentuk kekerasan sangat beragam faktor pendorongnya yakni selain karena ketidakadilan, diskriminatif, stereotipe budaya, perbedaan ideologi dan kepentingan. Namun yang menjadikan konflik itu muncul (manifes) pemicunya; secara politik adalah karena kekerasan individu (penguasa), kekerasan komunal, kekerasan struktural, dan tidak hanya negara yang melakukan itu, melainkan juga masyarakat (dalam berbagai bentuk). Secara ekonomi, adanya ketidakadilan pemanfaatan, pendistribusian atau alokasi dari sumber-sumber ekonomi di daerah konflik. Sedangkan secara sosial budaya, terjadinya disorientasi nilai, disharmonisasi sosial, disorganisasi dan telah mengancam kepada disintegrasi bangsa.
Oleh karena itu penyelesaian konflik dan pasca konflik yang terjadi di Indonesia memerlukan langkah menyeluruh dan sistematis dengan mensinerjikan dua kekuatan yang dipadukan yakni dukungan, inovasi dan kreativitas ‘masyarakat” satu sisi dan pengelolaan politik yang berbasis kepada konsisten menjalankan kesepakatan dan regulasi berbagai aturan negara yang berpihak kepada kepentingan masyarakat. Dirumuskan dalam satu langkah strategis; berjangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang.







DAFTAR PUSTAKA



Mohammad Noer dan Firdaus Syam ( 2008 ). Jurnal Kajian Politik dan Masalah Pembangunan, Jakarta.

Siti Nur Solechah ( 2007 ). Penelitian “ Konflik Politik pada Penyelenggaraan Pemilihan Langsung Kepala Daerah. Payakumbuh

Wikipedia (2011). Konflik [ search online ] Tersedia : http://id.wikipedia.org/wiki/konflik 


Siti Zuhro ( 2010 ). Budaya Politik Indonesia ( pdf ). Univ. Muhammadiyah. Jakarta

Suparman Marzuki ( 2008 ). Konflik Tanah Di Indinesia. PUSHAM-UII. Lombok

Sunaryo Thomas. “Manajemen Konflik dan Kekerasan”. Makalah pada Sarasehan tentang Antisipasi Kerawanan Sosial di DKI Tanggal 15-17 September 2002.

Alqadarie Syarief I. (2000). Laporan Akhir Hasil Penelitian Pertikaian antar Komunitas Madura Kalimantan Barat dengan Dayak 1996/97 dan antara Komunitas Madura Sambas dengan Melayu Sambas Tahun 1998/1999 di Kalimantan Barat. Kerjasama Yayasan Ilmu-ilmu Sosial Jakarta-dengan Fisipol Untan-Pontianak.






No comments:

Post a Comment