RESUME
KONFLIK-KONFLIK ILMU POLITIK
A. Pengertian Konflik
Konflik adalah sebuah gejala sosial yang
selalu terdapat didalam setiap masyarakat dan dalam setiap kurun waktu.
Mengenai pengertian konflik, perumusannya merentang dari pengertian yang
bersifat lunak sampai kepada pengertian yang mengandung unsur kekerasan
didalamnya. Pengertian konflik yang berunsur kekerasan, salah satunya
dikemukakan oleh Robert Ted Gurr. Menurutnya agar sebuah hubungan sosial dapat
disebut konflik, maka paling tidak harus memenuhi empat ciri. Keempat ciri
tersebut adalah :
a.
Ada
dua atau lebih pihak yang terlibat.
b.
Mereka
terlibat dalam tindakan-tindakan yang saling memusuhi.
c.
Mereka
menggunakan tindakan-tindakan kekerasan yang bertujuan untuk menghancurkan,
melukai , dan menghalang-halangi lawannya dan.
d.
Interaksi
yang bertentangan ini bersifat terbuka sehingga bisa dideteksi dengan mudah
oleh para pengamat independen.
Pengertian
konflik oleh Gurr ini bermuara pada terjadinya kekerasan, namun menurut
Schelling, konflik terjadi manakal tujuan, kebutuhan dan nilai-nilai kelompok
yang bersaing bertabrakan dan akibatnya terjadilah agresi, walaupun belum tentu
berbentuk kekerasan.
Pengertian
lain dari konflik dapat diartikan sebagai “ setiap atau perbedaan pendapat
antara paling tidak dua orang atau kelompok “. Sementara Ramlan Surbakti
mengatakan bahwa konflik berhubungan dengan “ benturan “ seperti perbedanaan
pendapat, persaingan dan pertentangan antara individu-individu kelompok dengan
kelompok, individu dengan kelompok, yang masing-masing mempunyai kepentingan
yang berbeda.
Pengetian konflik seperti yang dikemukakan oleh Gurr
diatas, maka yang dikategorikan konflik apabila mengarah pada konflik fisik,
sehingga konflik lisan dalam bentuk debat, polemik, perbedaan pendapat, dan
yang hanya saling menyerang dengan kata-kata, itu tidak bisa disebut konflik.
Menurut Maswadi Rauf, Konflik lisan pun bisa dikategorikan sebagai konflik. Hal
ini seperti diungkapkan bahwa ;
“ Konflik lisan dapat dikategorikan sebagai konflik karena
sudah terlihat adanya pertentangan didalamnya meskipun tindakan kekerasan yang
melibatkan benda-benda fisik belum terjadi. Bila konflik hanya terbatas pada
tindakan kekerasan secara fisik, maka seharusnya tidak ada istilah seperti
conflict of interest, conflict ideas, dan lain sebagainya yang lebih banyak
mengacu pada konflik lisan “
Alo
liliweri meragukan dari berbagi sumber mengenai definisi konflik. Istilah
konflik dapat di rangkum dan diartikan sebagai berikut :
1)
Konflik
adalah bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan oleh individu atau kelompok
karena mereka yang terlibat memiliki perbedaan sikap, kepercayaan, nilai-nilai,
serta kebutuhan ;
2)
Hubungan
pertentangan antara dua pihak atau lebih ( individu maupun kelompok ) yang
memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran tertentu, namun diliputi
pemikiran , perasaan atau perbuatan yang tidak sejalan;
3)
Pertentangan
atau pertikaian karena ada perbedaan dalam kebutuhan , nilai, dan motivasi
pelaku atau yang terlibat didalamnya;
4)
Suatu
proses yang terjadi ketika suatu pihak secara negatif mempengaruhi pihak lain,
dengan melakukan kekerasan fisik yang membuat orang lain perasaan serta fisik
nya terganggu;
5)
Bentuk
pertentangan yang bersifat fungsional karena pertentangan semacam itu mendukung
tujuan kelompok dan memperbarui tampilan, namun disfungsional karena
menghilangkan tampilan kelompok yang sudah ada;
6)
Proses
mendapatkan monopoli ganjaran, kekuasaan, pemikiran , dengan menyingkirkan atau
melemahkan pesaing;
7)
Suatu
bentuk perlawanan yang melibatkan dua pihak secara antagonis;
8)
Kekacauan
rangasangan kontradiktif dalam diri individu.
Uraian
diatas juga menunjukan bahwa dalam setiap konflik terdapat beberapa unsur
sebagai berikut :
1.
Ada
dua pihak yang terlibat.
2.
Ada
tujuan yang dijadikan sasaran konflik , tujuan itulah yang menjadi sumber
konflik.
3.
Ada
perbedaan pikiran, perasaan, tindakan diantara pihak yang terlibat untuk
mendapatkan atau mencapai tujuan.
4.
Ada
situasi konflik antara dua pihak yang bertentangan.
Menurut
Gluckman, konflik tidak selalu sama, ada konflik individual, ada konflik
kelompok, konflik tertutup , dan ada konflik terbuka. Konflik kepentingan dalam
suatu kelompok selalu ada sepankang waktu , setidaknya yang tersembunyi.
Konflik pada penyelenggaraan Pilkada disebut dengan konflik politik karena yang
terjadi mempunyai keterkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan maupun dengan
jabatan politik, atau terkait dengan permasalahan terkait who gets what, when and how.
Sementara
itu, esensi politik adalah konflik dan konsensus. Dengan begitu, di dalam
kehidupan manusia/masyarakat terdapat dua potensi yang saling bertolak belakang
antara satu dengan yang lainnya yaitu potensi “ konflik “ dan potensi “
damai/konsensus”. Kedua potensi itu bagaikan dua sisia mata uang yang tidak
dapat dipisahkan stu dang lainya. Jadi potensi konflik dan damai menyatu dalam
kehidupan masyarakat yang sewaktu-waktu dapat muncul silih berganti. Potensi
konflik akan muncul lebih kuat apabila manusia terlalu mengutamakan kepentinga
individu sehingga terjadi dominasi bilamana manusia lebih mengutamakan
kepentingan kelompok yang dilandasi oleh
nilai dan norma sosial yang pada gilirannya akan menciptakan suatu kedamaian.
B. Penyabab Konflik
Untuk dapat menyelesaikan konflik yang
terjadi di masyarakat, harus diketahui penyebab konflik yang
melatarbelakanginya. Terkait dengan latar belakang munculnya konflik, menurut
William Chang, “ konflik sosial tidak hanya berakar pada ketidak puasan batin,
kecemburuan, iri hati, kebencian, masalah perut, masalah tanah, masalah tempat
tinggal, masalah pekerjaan, masalaha uang, dan masalah kekuasaan. Namun
menurutnya, emosi manusia sesaatpun bisa memicu terjadinya konflik sosial “.
Maswadi Rauf mengidentifikasi adanya
tiga hal terkait dengan penyebab terjadinya konflik, yakni ; pertama, posisi
dan sumber-sumber kekuasaa, kedua tingginya penghargaan terhadap posisi
politik, serta ketiga, kesempatan untuk memperoleh sumber daya yang langka.
Dalam kajian, latar belakang terjadinya
kinflik juga sering dipicu adanya pemanfaatan norma/aturan yang berlaku. Aturan
sering bersifat ambigu, dan sifat ambiguitas itu sering dimanfaatkan oleh
kelompok-kelompok tertentu. Tujuan memanipulasi norma adalah untuk kepentingan
politik dan akan terjadi benturan atau konflik, yang diawali dengan konflik
norma dan konflik kepentingan, dengan tema sentral memperebutkan kekuasaan.
UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum memasukkan
pemilihan Kepala Daerah kedalam rezim Pemilu. Seperti yang dikatakan oleh Robet
Dahl bahwa “ dua dari enam ciri
lembaga-lembaga politik yang dibutuhkan oleh demokrasi skala besar adalah
berkaitan dengan pemilu, yaitu para pejabat yang dipilih dan Pemilu yang bebas,
adil dan berkala “.
Sementara itu kriteria Pemilu Demokratis
adalah :
1.
Semua
orang dewasa memiliki hak suara
2.
Pemilu
secara teratur dalam batas waktu yang ditentukan
3.
Semua
kursi di legislatif adalah subyek yang dipilih dan dikompetisikan
4.
Tidak
ada kelompok substansi ditolak kesempatannya untuk membentuk partai dan
mengajukan kandidat
5.
Administrator
Pemilu harus bertindak adil, tidak ada pengecualian hukum, tanpa kekerasan,
tanpa intimidasi kepada kandidat untuk memperkenalkan pandangan atau pemilih
untuk mendiskusikannya.
6.
Pilihan
dilakukan dengan bebas dan rahasia, dihitung dan dilaporkan secara jujur, dan
di konversi menjasi kursi legislatif sebagaimana ditentukan oleh peraturan
7.
Hasil
pilihan disimpan di kantor dan sisanya disimpan sampai hasil pemilihan
diperoleh.
Kriteria
Pemilu demokratis diatas mengacu pada Pemilu legislatif , namun begitu pastilah
berlaku pula bagi Pemilu untuk mengisi jabatan di lembaga eksekutif. Agar
Pemilu demokratis bisa dilakukan secara berkala/ berkesinambungan, perlu
didukung oleh kondisi berikut :
1.
Adanya
pengadilan Independen yang menginterprestasikan peraturan Pemilu
2.
Adanya
lembaga administrasi yang jujur, kompeten, dan non partisan untuk menjalankan
Pemilu.
3.
Adanya
pembangunan sistem kepartaian yang cukup terorganisir untuk meletakkan pemimpin
dan kebijakan diantara alternatif kebijakan yang dipilih
4.
Penerimaan
komunitas politik terhadap aturan main tertentu dari struktu dan pembatasan
dalam mencapai kekuasaan
Konflik
harus diakui keberadaannya, dikelola, dan diubah menjadi suatu kekuatan bagi
perubahan yang positif. Coser menyatakan bahwa konflik adalah suatu komponen
penting dalam setiap interaksi sosial. Oleh karena itu menurut Coser konflik
tidak perlu dihindari, sebab “ konflik dapat menyumbang banyak kelestarian
kehidupan sosial, bahkan mempererat hubungan antar anggota masyarakat”.
Disamping
itu, bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang memiliki keragaman budaya.
Setiap budaya memiliki kearifan-kearifan tersendiri dalam menyikapi
permasalahan hidup yang dihadapi, termasuk didalamnya kearifan dalam
menyelesaikan konflik. Kearifan-kearifan seperti inilah yang sering disebut
sebagia kearifan lokal ( local wisdom ). Cara penyelesaian konflik lebih tepat
jika menggunakan model-model penyelesaian yang disesuaikan dengan kondisi
wilayah serta budaya setempat.
Konflik
tidak selamanya berakibat negatif. Jika bisa dikelola dengan baik, konflik
justru bisa mengahasilkan hal-hal yang positif, misalnya, sebagai pemicu
perubahan dalam masyarakat, memperbarui kualitas keputusan, menciptakan inovasi
dan kreativitas, sebagai sarana evaluasi, dan lain sebagainya. Namun demikian,
tidak menutup kemungkinan bahwa jika konflik tidak dikelola dengan baik dan
benar, maka akan menimbulkan dampaak negatif dan merugikan masyarakat.
C. Konflik-konflik Politik
Indonesia
sebagai sebuah bangsa, sejak awal kemerdekaan hingga era reformasi mengalami
perjalanan konflik yang luar biasa, baik dalam bentuk, sifat dan jenis, maupun
dalam eskalasinya yang beragam, kompleks dan multi dimensi. Sejak era
pemerintahan Soekarno (1945-1965), Soeharto (1966-1998), sampai pada masa
pemerintahan di era reformasi (1999-2006), gejolak konflik dan kekerasan
terjadi secara bertubi-tubi dari lingkup komunitas lokal, regional sampai
tingkat nasional. Sejauh pengamatan yang dapat disaksikan bahwa fenomena
konflik sosial politik di Indonesia sampai tahun 2006 menunjukkan intesitas
yang semakin tinggi serta semakin memprihatikan. Dalam catatan hasil laporan
penelitian yang di lakukan, konflik hampir terjadi di seluruh wilayah Indonesia
(Jurnal PSK, Edisi II, April 2000). Tahun 1996 sampai masa reformasi di
tahun 2000, inventarisasi kasus-kasus konflik kekerasan mencapai 628 kasus
dengan perincian; tahun 1996 terjadi 24 konflik; tahun 1999 terjadi 210 kasus
konflik; tahun 2000 terjadi 230 kasus konflik, tahun 2006 konflik kekerasan
yang terjadi dari tingkat komunal sampai nasional mencapai 240 kasus.
Sebagai contoh, diambil
dari kasus Konflik yang terjadi di
Kalimantan Barat, yang merupakan konflik antar Suku Dayak dan Suku Madura tahun
1996-1999, walau pun ini hanyalah konflik antar suku, namun menyangkut
pemerintahan. Pemerintahan harus berperan aktif dalam penanganan masalah yang
ada.
1.
Latar belakang
konflik
Keragaman
suku bangsa merupakan kekuatan bangsa Indonesia. Kemampuan untuk mengelola
keragaman suku bangsa yang besar diperlukan untuk mencegah terjadinya
perpecahan yang akhirnya akan mengganggu kesatuan bangsa.
Kerusuhan dan pertikaian yang terjadi di berbagai daerah
di Indonesia menunjukkan antara lain kurangnya kemampuan pemerintah dalam
mengatasi penyebab terjadinya konflik sosial antar masyarakat. Konflik muncul
dengan menggunakan simbol-simbol etnis, agama, dan ras. Hal ini kemungkinan
terjadi akibat adanya akumulasi "tekanan" secara mental, spiritual,
politikm sosial, budaya dan ekonomi yang dirasakan oleh sebagian masyarakat.
Seperti halnya konflik antar etnis yang terjadi di
Kalimantan Barat, kesenjangan perlakuan aparat birokrasi dan aparat hukum
terhadap Suku Asli Dayak dan Suku Madura menimbulkan kekecewaan yang mendalam
yang meledak dalam bentuk konflik -konflik horizontal. Masyarakat Dayak yang
termarjinalisasi semakin terpinggirkan oleh kebijakan-kebijakan yang
diskriminatif yang mengeksploitasi kekayaan alam mereka. Sementara penegakan
hukum terhadap salah satu kelompok tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kasus
yang terjadi ini menunjukkan sulitnya penegakan hukum dan hak asasi manusia di
Indonesia. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah
penyebab terjadinya konflik horizontal di Kalimantan Barat serta penanganan
yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat setempat.
Kebudayaan
yang berbeda seringkali dijadikan dasar penyebab timbulnya suatu konflik pada masyarakat
yang berbeda sosial budaya. Demikian juga yang terjadi pada konflik
Dayak dan Madura yang terjadi pada akhir tahun 1996 yaitu terjadinya kasus
Sanggau Ledo, Kabupaten Bengkayang (sebelum pertengahan tahun 1999 termasuk
Kabupaten Sambas), di Kalimantan Barat. Konflik social sepertinya agak sulit
terpisahkan dari dinamika kehidupan masyarakat Kalimantan. Setelah
itu, pertikaian antar-etnis terjadi lagi di Sambas, lalu disusul di Kota
Pontianak, dan terakhir di Sampit serta menyebar ke semua wilayah di Kalimantan
Tengah.
Konflik yang dipicu oleh persoalan yang sederhana,
menjadi kerusuhan dan di identifikasi pemicu pecahnya konflik adalah : adanya
benturan budaya etnis lokal dengan etnis pendatang, lemahnya supremasi hukum,
adanya tindak kekerasan. Benturan budaya ini sebenarnya lebih banyak disebabkan
oleh kesombongan dan ketidakpedulian etnis Madura terhadap hukum adat dan
budaya lokal yang sangat dihormati masyarakat setempat seperti hak atas
kepemilikan tanah.
2.
Penanganan yang
dilakukan Pemerintah
Lemahnya supremasi hukum terlihat dari perlakuan yang
ringan diberikan pada masyarakat Madura. Dalam hal ini untuk menghindari
keadaan yang lebih tidak terkendali lagi seperti terjadinya tindakan kekerasan,
pembunuhan, pembakaran dan pengusiran yang berkepanjangan, maka untuk sementara
waktu orang Dayak menyatakan sikap yaitu :
1)
Untuk etnis Madura
yang masih berada di wilayah Kalimantan Barat agar secepatnya dikeluarkan atau
diungsikan demi keselamatan dan keamanan mereka karena tidak ada jaminan untuk
itu. Terlebih dengan tidak cukupnya aparat keamanan menjangkau wilayah rawan
konflik.
2)
Menolak
pengembalian pengungsi etnis Madura untuk batas waktu yang tidak ditentukan
karena tidak adanya suatu jaminan perubahan sikap dari etnis Madura dan juga
dikhawatirkan adanya tindakan balas dendam secara langsung maupun tidak
langsung.
Sikap ini
ditanggapi positif oleh aparat penegak hukum maupun masyarakat karena adanya
keterbatasan aparat yang tidak dapat menjangkau seluruh wilayah Propinsi
Kalimantan, maka demi keamanan kedua belah pihak untuk sementara suku Madura
harus dilokalisir pada daerah yang lebih aman. Selain itu dalam upaya
penanganan konflik yang terjadi ini dilakukan juga beberapa cara yaitu :
1)
Untuk sementara
waktu yang tidak dapat ditentukan batasnya, etnis Dayak dan Melayu sepakat
tidak menerima kembali etnis Madura di bumi Kalimantan terutama di daerah
konflik . Hal ini dilakukan agar tidak terjadi bentrokan di antara mereka
karena sangat rentan tersulut oleh isu yang akan membakar kemarahan kedua belah
pihak;
2)
Rehabilitasi
bangunan yang rusak akibat pengrusakan dan pembakaran terhadap infrastruktur
masyarakat umum juga dilakukan agar dapat berjalannya kegiatan masyarakat
sebagaimana mestinya. Moral dan mental masyarakat juga perlu mendapat perhatian
dan pembinaan agar terwujud suatu rekonsiliasi yang damai dan melibatkan
kembali seluruh tokoh masyarakat;
3)
Re-evakuasi
dilakukan bagi korban konflik ke daerah yang lebih aman. Untuk itu perhatian
terhadap keamanan mereka di daerah pengungsian harus didukung oleh pihak
keamanan sampai mereka mendapat tempat yang layak;
4)
Dialog antar etnis
yang berkesinambungan dengan memanfaatkan lembaga adat masyarakat perlu
dilakukan dalam proses pembentukan kerjasama mengakhiri konflik yang berkepanjangan;
5)
Demikian juga
dengan penegakkan hukum terhadap pelaku pelanggaran hukum perlu dilakukan
secara konsisten dan adil tanpa berpihak pada etnis tertentu selain itu
kemampuan personil petugas keamanan perlu ditingkatkan.
D.
Upaya
penyelesaian Konflik
Berbagai konflik di
Indonesia sangat penting artinya bagi bangsa Indonesia dan akan berpengaruh
terhadap; Pertama, kestabilan negara dan partisipasi masyarakat Indonesia di
berbagai bidang, mendorong kokohnya demokrasi politik, mantapnya ekonomi dan
tangguhnya keamanan kawasan, mengukukan kembali Indonesia yang menjadi negara
yang selalu di perhitungkan dalam percaturan politik Internasional. Kedua,
terbebasnya kawasan Indonesia dari keadaan konflik internal yang
berkepanjangan, dapat lebih fokus untuk pencapaian agenda-agenda penting
nasional, berbagai isu regional maupun global. Ketiga, teratasinya konflik di
di kawasan Indonesia bedampak memantapkan kestabilan di berbagai bidang
kegiatan di kawasan Asia Tenggara. Keempat, memberi ruang sosial yang kondusif
guna tercapainya akselerasi partisipasi dan pemberdayaan politik, ekonomi,
pemulihan ketentraman dan penguatan nilai sosial budaya masyarakat dari
berbagai lapisan sosial serta penguatan wibawa pemerintah.
Pada dasarnya konflik yang terjadi di Indonesia dengan
bentuk kekerasan sangat beragam faktor pendorongnya yakni selain karena
ketidakadilan, diskriminatif, stereotipe budaya, perbedaan ideologi dan
kepentingan. Namun yang menjadikan konflik itu muncul (manifes) pemicunya;
secara politik adalah karena kekerasan individu (penguasa), kekerasan komunal,
kekerasan struktural, dan tidak hanya negara yang melakukan itu, melainkan juga
masyarakat (dalam berbagai bentuk). Secara ekonomi, adanya ketidakadilan
pemanfaatan, pendistribusian atau alokasi dari sumber-sumber ekonomi di daerah
konflik. Sedangkan secara sosial budaya, terjadinya disorientasi nilai,
disharmonisasi sosial, disorganisasi dan telah mengancam kepada disintegrasi
bangsa.
Oleh karena itu penyelesaian konflik dan pasca konflik yang terjadi di Indonesia
memerlukan langkah menyeluruh dan sistematis dengan mensinerjikan dua kekuatan
yang dipadukan yakni dukungan, inovasi dan kreativitas ‘masyarakat” satu sisi
dan pengelolaan politik yang berbasis kepada konsisten menjalankan kesepakatan
dan regulasi berbagai aturan negara yang berpihak kepada kepentingan
masyarakat. Dirumuskan dalam satu langkah strategis; berjangka pendek, jangka
menengah dan jangka panjang.
DAFTAR PUSTAKA
Mohammad
Noer dan Firdaus Syam ( 2008 ). Jurnal
Kajian Politik dan Masalah Pembangunan, Jakarta.
Siti
Nur Solechah ( 2007 ). Penelitian “
Konflik Politik pada Penyelenggaraan Pemilihan Langsung Kepala Daerah.
Payakumbuh
Siti
Zuhro ( 2010 ). Budaya Politik Indonesia
( pdf ). Univ. Muhammadiyah. Jakarta
Suparman
Marzuki ( 2008 ). Konflik Tanah Di
Indinesia. PUSHAM-UII. Lombok
Sunaryo Thomas. “Manajemen
Konflik dan Kekerasan”. Makalah pada Sarasehan
tentang Antisipasi
Kerawanan Sosial di DKI Tanggal 15-17 September 2002.
Alqadarie Syarief I. (2000). Laporan Akhir Hasil Penelitian Pertikaian
antar Komunitas Madura Kalimantan Barat dengan Dayak 1996/97 dan
antara Komunitas Madura Sambas dengan Melayu Sambas Tahun 1998/1999
di Kalimantan Barat. Kerjasama Yayasan
Ilmu-ilmu Sosial Jakarta-dengan Fisipol Untan-Pontianak.
No comments:
Post a Comment