Tuesday, 2 September 2014

Status Sosial dan Stratifikasi Sosial



Jenis-Jenis/Macam-Macam Status Sosial & Stratifikasi Sosial Dalam Masyarakat - Sosiologi
Definisi / pengertian dari status sosial, kelas sosial, stratifikasi sosial dan diferensiasi sosial telah dijelaskan dalam artikel sebelumnya. Berikut di bawah ini adalah jenis-jenis atau macam-macam status sosial serta jenis / macam stratifikasi yang ada dalam masyarakat luas :
A. Macam-Macam / Jenis-Jenis Status Sosial
1. Ascribed Status
Ascribed status adalah tipe status yang didapat sejak lahir seperti jenis kelamin, ras, kasta, golongan, keturunan, suku, usia, dan lain sebagainya.
2. Achieved Status
Achieved status adalah status sosial yang didapat sesorang karena kerja keras dan usaha yang dilakukannya. Contoh achieved status yaitu seperti harta kekayaan, tingkat pendidikan, pekerjaan, dll.
3. Assigned Status
Assigned status adalah status sosial yang diperoleh seseorang di dalam lingkungan masyarakat yang bukan didapat sejak lahir tetapi diberikan karena usaha dan kepercayaan masyarakat. Contohnya seperti seseorang yang dijadikan kepala suku, ketua adat, sesepuh, dan sebagainya.
B. Macam-Macam / Jenis-Jenis Stratifikasi Sosial
1. Stratifikasi Sosial Tertutup
Stratifikasi tertutup adalah stratifikasi di mana tiap-tiap anggota masyarakat tersebut tidak dapat pindah ke strata atau tingkatan sosial yang lebih tinggi atau lebih rendah.
Contoh stratifikasi sosial tertutup yaitu seperti sistem kasta di India dan Bali serta di Jawa ada golongan darah biru dan golongan rakyat biasa. Tidak mungkin anak keturunan orang biasa seperti petani miskin bisa menjadi keturunan ningrat / bangsawan darah biru.
2. Stratifikasi Sosial Terbuka
Stratifikasi sosial terbuka adalah sistem stratifikasi di mana setiap anggota masyarakatnya dapat berpindah-pindah dari satu strata / tingkatan yang satu ke tingkatan yang lain.
Misalnya seperti tingkat pendidikan, kekayaan, jabatan, kekuasaan dan sebagainya. Seseorang yang tadinya miskin dan bodoh bisa merubah penampilan serta strata sosialnya menjadi lebih tinggi karena berupaya sekuat tenaga untuk mengubah diri menjadi lebih baik dengan sekolah, kuliah, kursus dan menguasai banyak keterampilan sehingga dia mendapatkan pekerjaan tingkat tinggi dengan bayaran / penghasilan yang tinggi.
Stratifikasi Masyarakat Buton Masa Kesultanan
by Wolio, Jejak Sejarah Yang Terlupakan on Tuesday, May 31, 2011 at 9:09am
Masyarakat Buthuuni ( baca Buton ) merupakan masyarakat yang pluralistik, terdiri atas beberapa etnis pendatang dan beberapa etnis asli. Pada masa kerajaan stratifikasi masyarakatnya belum tertata secara kongkrit, baru hanya melingkupi pembagian atas golongan penguasa dan golongan rakyat yang diperintah. Golongan penguasa adalah para pendiri kerajaan dan golongan yang diperintah adalah beberapa daerah atau kerajaan-kerajaan kecil yang berintegrasi kedalam kerajaan Buthuuni.
Stratifikasi masyarakat diambil dari garis keturunan raja Wa Kaa Kaa dengan Sibatara, kemudian anak raja Wa Kaa Kaa yaitu Bulawambona melakukan perkawinan dengan La Baluwu, yang dari keturunan-keturunan mereka tersebut kemudian menjadi dasar penentuan stratifikasi masyarakat (sebagai golongan penguasa). Perkawinan Raja Bulawambona dengan La Baluwu melahirkan seorang anak yaitu Bataraguru, dan perkawinan antara La Baluwu dengan gundiknya melahirkan sembilan orang anak yang menjadi saudara dari Bataraguru, inilah yang kemudian menjadi Sio Limbona. Bataraguru menggantikan kedudukan Ibunya sebagai raja ketiga, sedangkan saudara-saudaranya yang lain menduduki jabatan Bonto. Raja Bataraguru melahirkan tiga orang anak , yaitu Tuamaruju menjadi Bontona Baluwu, Rajamanguntu menjadi Bontona Peropa dan Tua Rade menjadi Raja IV mengganti Raja Bataraguru. Dari dasar inilah kemudian diambil pembagian stratifikasi masyarakat Buthuuni.
Awal pembagian stratifikasi masyarakat Buthuuni mulai diadakan kesepakatan bersama oleh para pembesar kesultanan Buthuuni pada masa Sultan Dayanu Iksanuddin yang di selaraskan dengan Undang- Undang Kesultanan yaitu Murtabat Tujuh dan Sifat Dua Puluh. Pada masa kekuasaanya, Sultan Dayanu Ikhsanuddin bermusyawarah dengan Syara ( baik Sara Ogena maupun Sara Kidina ) dan menghasilkan kesepakatan tentang pembagian stratifikasi masyarakat yang kemudian dikenal dengan sebutan Kabumbu Taluanguna yaitu : Golongan Lalaki, Walaka dan Papara.
Adapun uraian stratifikasi masyarakat Buthuuni secara dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Golongan Kaumu (Lalaki)
Golongan Kaomu (Lalaki ) adalah golongan masyarakat yang berhak menduduki jabatan sultan, sapati, kenepulu, kapitalao dan Bobato yang kesemuanya adalah jabatan pembesar kesultanan dalam Syara Ogena. Sedangkan pada Syara Kidina/Agama, Kaumu (Lalaki) berhak menduduki jabatan Lakina Agama, Imam, dan Khatibi. Hal ini didasarkan atas hasil musyawarah bersama antara pembesar kesultanan dan majelis syara pada masa Sultan Dayanu Ikhsanuddin ( Sultan IV ). Hasil musyawarah tersebut kemudian menghasilkan kesepakatan dalam pengisian jabatan-jabatan dalam kesultanan Buthuuni (Sultan, Sapati, Kenepulu dan Kapitalau pada Sara Ogena ) dan pengisian jabatan dalam apara mesjid ( Lakina Agama, Imam dan Khatibi. Hasil kesepakatan yang menyatakan hak untuk Kaumu (Lalaki) atas jabatan Sultan yaitu Pertama, Golongan Lalaki (kaomu) dari Tanailandu anak keturunan La Elangi/Dayanu Iksanuddin (saat menjabat sebagai Sultan ke IV). Kedua, golongan Lalaki (kaomu) Tapi-Tapi anak keturunan dari La Singga (saat itu menjabat sebagai Sapati) dan golongan Lalaki (kaomu) Kumbewaha anak keturunan dari La Bula (saat itu menjabat sebagai Kenepulu).Ketiga golongan Kaumu inilah yang kemudian dikenal dengan Kamboru-mboru Talu Palena (tiga tiang pancang).
Kesepakatan tersebut pada dasarnya mengukuhkan sistem politik kesultanan Buthuuni, dimana yang berhak menduduki jabatan-jabatan tinggi kesultanan (Sultan, Sapati, Kenepulu) dan jabatan Sara Kidin/Sara Agama ( Lakina Agama, Imam dan Khatibi ) adalah dari keturunan La Elangi/Dayanu Iksanuddin, La Singga Dan La Bula. Dan keturunan mereka bertiga inilah yang kemudian dikenal dengan golongan Kaomu atau Lalaki, yaitu:
1. Golongan Lalaki/Kaomu Tanailandu anak turunan dari La Elangi/Dayanu Iksanuddin pada masa itu menjabat sebagai Sultan IV.
2. Golongan Lalaki/Kaomu Tapi-Tapi anak turunan dari La Singga pada masa itu menjabat sebagai Sapati.
3. Golongan Lalaki/Kaomu Kumbewa anak turunan dari La Bula pada masa itu menjabat sebagai Kenepulu.
Ketiganya merupakan cucu dari Raja Manguntu ( Bontona Peropa ) melalui La Katuturi. Pembagian Kamboru-mboru talupalena ini atas saran dari Syarif Muhammad yang diselaraskan dengan Golongan Quraisi dari tanah Arab, yaitu : Bani Hasym golongan Muhammad, Bani Umaya golongan Saidina Utsman dan Bani Abbasia Golongan Saidina Ali.
Pada masa Sultan Zainuddin/Ncili-Ncili ( Sultan ke 12 ) disepakati dengan Sara setiap kelebihan 40 ( empat puluh ) orang Lalaki ( Kaomu ) yang berada di Wolio ( pusat pemerintahan ) dipindahkan dan tidak diberikan lagi jabatan atau kedudukan. Tempat atau daerah tersebut adalah :

1. Lalaki ( Kaomu ) dari Golongan Tanailandu dipindahkan menjadi Ana Lalaki di Waopini.
2. Lalaki ( Kaomu ) dari Golongan Tapi-Tapi dipindahkan menjadi Ana Lalaki di Kambolosua.
3. Lalaki ( Kaomu ) dari Golongan Kumbewaha dipindahkan menjadi ana Lalaki di Batubanawa.

Pada masa pemerintahan Sultan La Dini/Kabumbu Malanga ( Sultan ke 14 ) mengajukan usul kepada Sara agar Lalaki ( Kaomu ) tidak lagi mengadakan hubungan darah melalui perkawinan, akan tetapi tidak disepakati atau tidak mendapat persetujuan dari Sara.
Pada masa pemerintahan Sultan Oputa Sangia/Sultan Darul Alam ( Sultan ke 19 ) mengeluarkan keputusan dan menegaskan supaya Lalaki ( Kaomu ) dan Walaka harus diadakan garis pemisah dan tidak tidak boleh lagi mengadakan percampuran darah. Keputusan ini menimbulkan ketegangan antara Lalaki ( Kaomu ) dan Walaka. Maka diadakanlah pertemuan antara Dua Bonto Ogena sebagai orang tua dari Walaka dan Sultan sebagai orang Tua dari Lalaki ( Kaomu ).
Dalam pertemuan di Tangana Pada antara Dua Bonto Ogena dan Sultan menghasilkan kesepakatan yang disebut dengan kesepakatan “ Kunci Ruamatana “ yang berisi bahwa : Golongan Lalaki ( Laki-laki ) dapat kawin dengan Golongan Walaka ( Perempuan ) sebagai Sakawi ( istri pertama ), sungguhpun ada istri kedua dari golongan Lalaki dan Golongan Walaka ( Laki-Laki ) dapat kawin dengan Golongan Lalaki ( Perempuan ) asalkan tidak dengan pernikahan Pobaisa. Demikian keputusan musyawarah dan inilah yang merupakan sebahagian Rahasia bagi golongan Lalaki ( Kaumu ) dan Walaka. Kepada mereka yang mengenal rahasia ini berarti menempati tingkatan “ HAYUN BII HIYAT “.

2. Golongan Walaka

Golongan Walaka adalah golongan masyarakat kesultanan Buthuuni yang berhak menduduki jabatan Sio Limbona (Majelis Syara), Bonto Ogena dan Bonto (Syara Ogena), dan Moji pada Syara Kidina/Agama. Namun demikian jika ditarik garis keturunannya ke atas, maka kedua golongan yaitu Kaumu dan Walaka akan bersatu atau bertemu pada satu silsilah garis keturunana yaitu dari La Baluwu dan Bulawambona (mereka inilah yang disebut nenek). Anak Baluwu dengan Bolawambona, yaitu Bataraguru (Raja III) inilah yang melahirkan golongan Kaomu/Lalaki, sedangkan saudara-saudara Bataraguru yang sembilan orang dari anak La Baluwu dengan istrinya yang lain menurunkan golongan Walaka. Dalam Golongan Walaka terbentuk pula Lepi atau Pulanga Talutibana, yaitu :

1. Golongan Walaka Bonto Ogena Labunta : La Kadiri
2. Golongan Walaka Bonto Ogena iWantiro : La Tewa
3. Golongan Walaka Bonto Ogena I Gama : Lakasturi

Perpisahan antara golongan Lalaki ( kaomu ) dan golongan Walaka secara stratifikasi kemasyarakatan ini diikat kembali dalam mufakat Sara yang tersimpul dalam Undang Undang Martabat Tujuh dan Sifat Dua Puluh, yaitu hubungan antara Sultan dan Siolimbona ( Sembilan Bonto ) dalam struktur pemerintahan dalam bahasa adat yang berpedoman kepada Kata Ulama : “ Man Arafa Nafsahu Wazirrn Fii Tis Atan Usuluhu Fakad Arafa Sultanahu Fii Syalaasatin Akwami “ artinya : “ Barang siapa mengenal dirinya Bonto di dalam sembilan Asal, maka sesungguhnya ia mengenal Sultan di dalam Tiga Kamboru-mboru.

Dengan demikian dua golongan stratifikasi masyarakat Buthuuni yaitu Kaomu dan Walaka tersebut memiliki hak politik untuk duduk dalam pemerintahan.

3. Golongan Papara

Mereka yang tidak mempunyai garis silsilah keturunan dari kedua golongan tersebut (Kaomu dan Walaka) disebut sebagai golongan Papara. Mereka adalah penghuni daerah kekuasaan kerajaan yang dikenal dengan Kadie dan Limbo. Sesuai asal usulnya, ada papara keturunan dari masyarakat asli sebelum berdirinya kerajaan Buton dan ada pula yang datang dari luar dan tunduk di bawah kekuasaan kerajaan/kesultanan dengan sukarela yang disebut bante. Papara terdiri atas tiga bagian yaitu; Paraka adalah rakyat yang menyerahkan diri pada Syara dengan tidak melalui perang, Talubinara adalah rakyat yang berasal dari tawanan perang dan Kantinale adalah budak yang menaklukan diri pada orang-orang yang berkuasa. Lapisan masyarakat terbawah adalah Batua yang berasal atau diturunkan akibat ibu bapaknya yang budak. Namun jika ibunya saja yang budak, maka keturunannya tidak masuk dalam keturunan ini, tetapi mengikuti derajat bapaknya. Yang dikategorikan batua adalah orang yang tunduk di bawah kekuasaan kerajaan dengan paksa dalam adat yang di sebut Bante, musuh kerajaan yang kalah dalam peperangan, dan orang di luar kerajaan yang dirampas dan di jual kepada golongan kaomu dan walaka.

Pembagian stratifikasi masyarakat Buthuuni diambil dari tamsil atau teladan martabat tujuh yaitu martabat ketuhanan dan martabat kehambaan. Dengan pemahaman bahwa dasar pembagian stratifikasi masyarakat Buthuuni yaitu Kaomu, Walaka dan Papara tersebut adalah mengambil analogi atau pemahaman bahwa, Nurullah ditamsilkan sebagai Kaomu, Nur Muhammad ditamsilkan sebagai Walaka dan Nur Adam ditamsilkan sebagai Papara. Dalam pemahaman, bahwa ketiganya adalah merupakan satu kesatuan, dimana persatuan dari tiga golongan (Kaomu, Walaka, dan Papara) tersebut, harus dipahami sebagai teladan perpaduan antara Zat (Nurullah), Sifat (Nur Muhammad) dan Asma (Nur Adam), yang mengambil tamsil atau teladan atas tiga alam pertama yang disebut dengan martabat ketuhanan yaitu Ahadiah (Zat/Nurullah) yang ditamsilkan sebagai golongan Kaomu (lalaki), Wahadiah(Sifat/Nur Muhammad) ditamsilkan sebagai golongan Walaka, dan Wahidiah (Asma/Nur Adam) ditamsilkan sebagai golongan Papara.

Dengan pemahaman bahwa ketiganya bukan menandakan perbedaan stratifikasi kelas atau golongan karena merupakan satu kesatuan dari satu asal. Perbedaan itu tujuannya agar saling mengenal, sesuai ketentuan zahir dunia yang merupakan teladan, sebagaimana sabda Rasulullah dalam salah satu hadist kudsi “pandanglah yang banyak kepada yang satu, dan pandangah yang satu pada yang banyak. Sehingga tiga pembagian tersebut adalah teladan zahir semata dan bukan pada hakekatnya. Kemudian, Allah berfirman bahwa semuli-mulianya di antara kamu ialah yang paling taqwa. Dengan dasar ini maka tujuan pembagian tersebut adalah tidak membedakan derajatnya, kesemuanya sama dimata Tuhan yang wajib menyembah Allah Swt, bukan untuk menyembah sesama manusia.
Zahir kenyataan teladan tersebut didukung dengan ketentuan adat istiadat dengan berpegang teguh pada falsafah binci-binciki kuli yaitu pemisahan stratifikasi yang berdasar pada rasa kemanusiaan. Stratifikasi ini disepakati secara musyawarah mufakat dengan tujuan untuk memudahkan struktur pembagian tata kerja diantara masing-masing golongan. Dalam adat disebut bersatu tidak berpadu, bercerai tidak berantara atau bersatu akan binasa dan bercerai akan sia-sia. Adapun teladan atau tamsil murtabat tujuh dalam stratifikasi masyarakat Buton adalah sebagai berikut :

a. Ahadiah, ditamsilkan sebagai Kaumu/Lalaki
b. Wahadiah, ditamsilkan sebagai Walaka
c. Wahidiah ditamsilkan sebagai Papara
d. Alam Arwah ditamsilkan sebagai Bante
e. Alam Misal, ditamsilkan sebagai Kabutu
f. Alam Ajsam ditamsilkan sebagai Kantinale
g. Alam Insan ditamsilkan sebagai Paraka

Stratifikasi ini kemudian dipertegas dengan faktor domisili, dengan faktor domisili inilah kemudian terbagi lapisan-lapisan baru dalam tubuh kaomu dan walaka. Alasan domisili ini dibuat adalah untuk mencegah konflik perebutan kekuasaan. Dalam hal ini, golongan kaomu dan walaka dilihat dari domisilinya dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu :

a. Kaomu dan walaka yang menetap di Keraton Wolio sebagai pusat kesultanan.
b. Kaomu dan walaka yang menetap di daerah kekuasaan kesultanan dan tidak kembali ke Keraton pada saat pengumuman konstitusi murtabat tujuh untuk peratama kalinya, yang diumumkan oleh Sapati La Singga dan saat itupun, Sultan keenam Dayanu Ikhsanuddin, membagikan daerah kekuasaan kepada para pembesar kaomu dan walaka. Bagi kaoumu dan walaka yang tidak hadir pada pengumuman konstitusi murtabat tujuh, tersebut menyebabkan derajat mereka tidak lagi menjadi kaomu tetapi mereka disebut dengan Analalaki atau Limbo. Meskipun derajat mereka turun, tetapi mereka tidak menjadi golongan papara ataupu batua.
c. Kaomu Yisambali, yaitu kaumu yang lahir dari kaomu yang sudah menetap di Keraton dan beristri orang biasa atau dari kadie. Jika mereka kawin dengan kaomu dan kembali menetap di Keraton, mereka tetap dianggap sebagai kaomu. Sebaliknya, jika mereka tetap menetap di kadie, hak mereka untuk menduduki kekuasaan hilang, seperti halnya kaomu yang menetap di Keraton. Walaka yang sudah lama menetap di luar Keraton dan kawin dengan orang kadie, kehilangan hak sebagai orang walaka yang menetap di Keraton.

Berdasarkan domisilinya, papara dapat juga dibagi menjadi :

a. Papara yang menghuni wilayah yang berada di bawah kekuasaan langsung dari pemerintahan pusat. Wilayah mereka inilah yang disebut kadie.
b. Papara yang menghuni wilayah yang tunduk di bawah kekuasaan kerajaan atau kesultanan Buton tetapi memiliki hak otonomi dan memiliki struktur pemerintahan sendiri, wilayah ini disebut Barata.

Stratifikasi masyarakat Buthuuni sebagaimana di sebutkan diatas, baik atas dasar keturunan maupun domisili, menyebabkan golongan kaumu dan walaka terbagi menjadi dua lapisan yaitu Kaomu maupun Walaka yang dapat atau tidak dapat memegang jabatan atau kekuasaan dalam kesultanan. Pembagian stratifikasi masyarakat tersebut terkait atau berhubungan dengan struktur kekuasaan khususnya dalam proses pengisian jabatan-jabatan tinggi kesultanan Buthuuni.

Dalam versi yang lain dikatakatan bahwa pemisahan kaomu, walaka dan papara tersebut juga didasarkan pada pemahaman Al Qur`an yaitu pada surat Q.S. Al-Baqarah 213 yang berarti “bahwa manusia itu adalah umat yang satu”. Bertolak dari ayat tersebut, maka dalam adat Buthuuni di kenal suatu ungkapan Poromu Inda Saangu, Pogaa Inda Koolotaa yang artinya berkumpul tidak bersatu, bercerai tidak berantara. Sehingga hubungan silaturrahim diantara ketiga golongan stratifikasi masyarakat tersebut dianalogikan seperti bingkai rumah tangga dalam arti; Kaomu adalah anak, Walaka adalah Bapak, dan Papara adalah saudara sesusuan. Hubungan stratifikasi masyarakat Buthuuni tersebut, didalam pertautannya dianalogikan sebagai bingkai rumah tangga dengan berdasarkan konsep kekeluargaan. Adapun dasar atau kekeluragaan tersebut dianalogikan sebagai berikut:

a. Kaomu atau Lalaki menyebut Walaka sebagai Amamiu dan Opuamiu (Bapak dan Nenek). Dalam hal ini nenek atau kakek tersebut adalah Sio Limbona. Walaka menyebut Lalaki sebagai Anamiau dan Opuamiu (anak dan cucu). Kaomu dan Walaka menganggap dalam hubungan kemasyarakatan sbagai saudara dan sama halnya kaomu dan walaka menganggap Papara sebagai saudara sesusuan yang di sebut Andimiu atau Akamiu (adik dan kakak).
b. Timbulnya ucapan Amamiau (Bapak) untuk pertama kali adalah sejak pelantikan raja pertama Wa Kaa Kaa oleh Pata Limbona yang menjadi orang tuanya, atau yang melahirkannya sebagai Raja. Sedangkan timbulnya Opuamiu (nenek) ialah pada masa pelantikan Bulawambona sebagai Raja ke kedua dan Bataraguru sebagai raja ketiga yang dilantik oleh Sio Limbona (kakek atau nenek).

Sistim kekerabatan masyarakat Buthuuni menganut sistim kekerabatan parental yaitu garis keturunan bapak, yang terdiri atas keluarga batih dan keluarga luas. Keluaraga batih disebut dengan safitinai, sedangkan keluarga luas disebut Leena Walaka atau Witinai artinya yang berasal dari satu keturunan. Stratifikasi kekeluargaan dalam masyarakat Buthuuni terdiri atas tujuh tingkatan yaitu :

a. Pinoama (saudara kandung laki-laki dari pihak bapak atau Ibu)
b. Ponoina (saudara kandung permpuan yang berasal dari pihak bapak atau ibu)
c. Tolida (anak dari saudara kandung bapak atau ibu)
d. Topendua (sepupu dua kali)
e. Topentalu (sepupu tiga kali)
f. Mania (mertua)
g. Dawo(ipar)

Dari pemaparan stratifikasi masyarakat Buthuuni tersebut, maka dapat diambil suatu gambaran tentang kuatnya hubungan sinkretisme antara nilai-nilai tradisi dengan nilai-nilai agama Islam khususnya tasawuf martabat tujuh. Stratifikasi masyarakat Buthuuni sangat erat hubungannya dengan pembagian kekuasaan atau sistim politik yang dibangun dalam ketatanegaraan kesultanan Buthuuni.
Top of Form
Bottom of Form
Facebook © 2011 · English (US)

No comments:

Post a Comment