Jenis-Jenis/Macam-Macam
Status Sosial & Stratifikasi Sosial Dalam Masyarakat - Sosiologi
Definisi / pengertian dari status
sosial, kelas sosial, stratifikasi sosial dan diferensiasi sosial telah
dijelaskan dalam artikel sebelumnya. Berikut di bawah ini adalah jenis-jenis
atau macam-macam status sosial serta jenis / macam stratifikasi yang ada dalam
masyarakat luas :
A. Macam-Macam / Jenis-Jenis Status
Sosial
1. Ascribed Status
Ascribed status adalah tipe status yang didapat sejak lahir seperti jenis kelamin, ras, kasta, golongan, keturunan, suku, usia, dan lain sebagainya.
Ascribed status adalah tipe status yang didapat sejak lahir seperti jenis kelamin, ras, kasta, golongan, keturunan, suku, usia, dan lain sebagainya.
2. Achieved Status
Achieved status adalah status sosial yang didapat sesorang karena kerja keras dan usaha yang dilakukannya. Contoh achieved status yaitu seperti harta kekayaan, tingkat pendidikan, pekerjaan, dll.
Achieved status adalah status sosial yang didapat sesorang karena kerja keras dan usaha yang dilakukannya. Contoh achieved status yaitu seperti harta kekayaan, tingkat pendidikan, pekerjaan, dll.
3. Assigned Status
Assigned status adalah status sosial yang diperoleh seseorang di dalam lingkungan masyarakat yang bukan didapat sejak lahir tetapi diberikan karena usaha dan kepercayaan masyarakat. Contohnya seperti seseorang yang dijadikan kepala suku, ketua adat, sesepuh, dan sebagainya.
Assigned status adalah status sosial yang diperoleh seseorang di dalam lingkungan masyarakat yang bukan didapat sejak lahir tetapi diberikan karena usaha dan kepercayaan masyarakat. Contohnya seperti seseorang yang dijadikan kepala suku, ketua adat, sesepuh, dan sebagainya.
B. Macam-Macam / Jenis-Jenis
Stratifikasi Sosial
1. Stratifikasi Sosial Tertutup
Stratifikasi tertutup adalah
stratifikasi di mana tiap-tiap anggota masyarakat tersebut tidak dapat pindah ke
strata atau tingkatan sosial yang lebih tinggi atau lebih rendah.
Contoh stratifikasi sosial tertutup
yaitu seperti sistem kasta di India dan Bali serta di Jawa ada golongan darah
biru dan golongan rakyat biasa. Tidak mungkin anak keturunan orang biasa seperti
petani miskin bisa menjadi keturunan ningrat / bangsawan darah biru.
2. Stratifikasi Sosial Terbuka
Stratifikasi sosial terbuka adalah
sistem stratifikasi di mana setiap anggota masyarakatnya dapat berpindah-pindah
dari satu strata / tingkatan yang satu ke tingkatan yang lain.
Misalnya seperti tingkat pendidikan,
kekayaan, jabatan, kekuasaan dan sebagainya. Seseorang yang tadinya miskin dan
bodoh bisa merubah penampilan serta strata sosialnya menjadi lebih tinggi
karena berupaya sekuat tenaga untuk mengubah diri menjadi lebih baik dengan
sekolah, kuliah, kursus dan menguasai banyak keterampilan sehingga dia
mendapatkan pekerjaan tingkat tinggi dengan bayaran / penghasilan yang tinggi.
Stratifikasi
Masyarakat Buton Masa Kesultanan
Masyarakat Buthuuni ( baca Buton )
merupakan masyarakat yang pluralistik, terdiri atas beberapa etnis pendatang
dan beberapa etnis asli. Pada masa kerajaan stratifikasi masyarakatnya belum
tertata secara kongkrit, baru hanya melingkupi pembagian atas golongan penguasa
dan golongan rakyat yang diperintah. Golongan penguasa adalah para pendiri
kerajaan dan golongan yang diperintah adalah beberapa daerah atau
kerajaan-kerajaan kecil yang berintegrasi kedalam kerajaan Buthuuni.
Stratifikasi masyarakat diambil dari
garis keturunan raja Wa Kaa Kaa dengan Sibatara, kemudian anak raja Wa Kaa Kaa
yaitu Bulawambona melakukan perkawinan dengan La Baluwu, yang dari
keturunan-keturunan mereka tersebut kemudian menjadi dasar penentuan
stratifikasi masyarakat (sebagai golongan penguasa). Perkawinan Raja
Bulawambona dengan La Baluwu melahirkan seorang anak yaitu Bataraguru, dan
perkawinan antara La Baluwu dengan gundiknya melahirkan sembilan orang anak
yang menjadi saudara dari Bataraguru, inilah yang kemudian menjadi Sio Limbona.
Bataraguru menggantikan kedudukan Ibunya sebagai raja ketiga, sedangkan
saudara-saudaranya yang lain menduduki jabatan Bonto. Raja Bataraguru
melahirkan tiga orang anak , yaitu Tuamaruju menjadi Bontona Baluwu,
Rajamanguntu menjadi Bontona Peropa dan Tua Rade menjadi Raja IV mengganti Raja
Bataraguru. Dari dasar inilah kemudian diambil pembagian stratifikasi
masyarakat Buthuuni.
Awal pembagian stratifikasi
masyarakat Buthuuni mulai diadakan kesepakatan bersama oleh para pembesar
kesultanan Buthuuni pada masa Sultan Dayanu Iksanuddin yang di selaraskan
dengan Undang- Undang Kesultanan yaitu Murtabat Tujuh dan Sifat Dua Puluh. Pada
masa kekuasaanya, Sultan Dayanu Ikhsanuddin bermusyawarah dengan Syara ( baik
Sara Ogena maupun Sara Kidina ) dan menghasilkan kesepakatan tentang pembagian
stratifikasi masyarakat yang kemudian dikenal dengan sebutan Kabumbu Taluanguna
yaitu : Golongan Lalaki, Walaka dan Papara.
Adapun uraian stratifikasi
masyarakat Buthuuni secara dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Golongan Kaumu (Lalaki)
Golongan Kaomu (Lalaki ) adalah
golongan masyarakat yang berhak menduduki jabatan sultan, sapati, kenepulu,
kapitalao dan Bobato yang kesemuanya adalah jabatan pembesar kesultanan dalam
Syara Ogena. Sedangkan pada Syara Kidina/Agama, Kaumu (Lalaki) berhak menduduki
jabatan Lakina Agama, Imam, dan Khatibi. Hal ini didasarkan atas hasil musyawarah
bersama antara pembesar kesultanan dan majelis syara pada masa Sultan Dayanu
Ikhsanuddin ( Sultan IV ). Hasil musyawarah tersebut kemudian menghasilkan
kesepakatan dalam pengisian jabatan-jabatan dalam kesultanan Buthuuni (Sultan,
Sapati, Kenepulu dan Kapitalau pada Sara Ogena ) dan pengisian jabatan dalam
apara mesjid ( Lakina Agama, Imam dan Khatibi. Hasil kesepakatan yang
menyatakan hak untuk Kaumu (Lalaki) atas jabatan Sultan yaitu Pertama, Golongan
Lalaki (kaomu) dari Tanailandu anak keturunan La Elangi/Dayanu Iksanuddin (saat
menjabat sebagai Sultan ke IV). Kedua, golongan Lalaki (kaomu) Tapi-Tapi anak
keturunan dari La Singga (saat itu menjabat sebagai Sapati) dan golongan Lalaki
(kaomu) Kumbewaha anak keturunan dari La Bula (saat itu menjabat sebagai
Kenepulu).Ketiga golongan Kaumu inilah yang kemudian dikenal dengan
Kamboru-mboru Talu Palena (tiga tiang pancang).
Kesepakatan tersebut pada dasarnya
mengukuhkan sistem politik kesultanan Buthuuni, dimana yang berhak menduduki
jabatan-jabatan tinggi kesultanan (Sultan, Sapati, Kenepulu) dan jabatan Sara
Kidin/Sara Agama ( Lakina Agama, Imam dan Khatibi ) adalah dari keturunan La
Elangi/Dayanu Iksanuddin, La Singga Dan La Bula. Dan keturunan mereka bertiga
inilah yang kemudian dikenal dengan golongan Kaomu atau Lalaki, yaitu:
1. Golongan Lalaki/Kaomu Tanailandu
anak turunan dari La Elangi/Dayanu Iksanuddin pada masa itu menjabat sebagai
Sultan IV.
2. Golongan Lalaki/Kaomu Tapi-Tapi
anak turunan dari La Singga pada masa itu menjabat sebagai Sapati.
3. Golongan Lalaki/Kaomu Kumbewa
anak turunan dari La Bula pada masa itu menjabat sebagai Kenepulu.
Ketiganya merupakan cucu dari Raja
Manguntu ( Bontona Peropa ) melalui La Katuturi. Pembagian Kamboru-mboru
talupalena ini atas saran dari Syarif Muhammad yang diselaraskan dengan
Golongan Quraisi dari tanah Arab, yaitu : Bani Hasym golongan Muhammad, Bani
Umaya golongan Saidina Utsman dan Bani Abbasia Golongan Saidina Ali.
Pada masa Sultan
Zainuddin/Ncili-Ncili ( Sultan ke 12 ) disepakati dengan Sara setiap kelebihan
40 ( empat puluh ) orang Lalaki ( Kaomu ) yang berada di Wolio ( pusat
pemerintahan ) dipindahkan dan tidak diberikan lagi jabatan atau kedudukan.
Tempat atau daerah tersebut adalah :
1. Lalaki ( Kaomu ) dari Golongan
Tanailandu dipindahkan menjadi Ana Lalaki di Waopini.
2. Lalaki ( Kaomu ) dari Golongan
Tapi-Tapi dipindahkan menjadi Ana Lalaki di Kambolosua.
3. Lalaki ( Kaomu ) dari Golongan
Kumbewaha dipindahkan menjadi ana Lalaki di Batubanawa.
Pada masa pemerintahan Sultan La
Dini/Kabumbu Malanga ( Sultan ke 14 ) mengajukan usul kepada Sara agar Lalaki (
Kaomu ) tidak lagi mengadakan hubungan darah melalui perkawinan, akan tetapi
tidak disepakati atau tidak mendapat persetujuan dari Sara.
Pada masa pemerintahan Sultan Oputa
Sangia/Sultan Darul Alam ( Sultan ke 19 ) mengeluarkan keputusan dan menegaskan
supaya Lalaki ( Kaomu ) dan Walaka harus diadakan garis pemisah dan tidak tidak
boleh lagi mengadakan percampuran darah. Keputusan ini menimbulkan ketegangan
antara Lalaki ( Kaomu ) dan Walaka. Maka diadakanlah pertemuan antara Dua Bonto
Ogena sebagai orang tua dari Walaka dan Sultan sebagai orang Tua dari Lalaki (
Kaomu ).
Dalam pertemuan di Tangana Pada
antara Dua Bonto Ogena dan Sultan menghasilkan kesepakatan yang disebut dengan
kesepakatan “ Kunci Ruamatana “ yang berisi bahwa : Golongan Lalaki ( Laki-laki
) dapat kawin dengan Golongan Walaka ( Perempuan ) sebagai Sakawi ( istri
pertama ), sungguhpun ada istri kedua dari golongan Lalaki dan Golongan Walaka
( Laki-Laki ) dapat kawin dengan Golongan Lalaki ( Perempuan ) asalkan tidak
dengan pernikahan Pobaisa. Demikian keputusan musyawarah dan inilah yang
merupakan sebahagian Rahasia bagi golongan Lalaki ( Kaumu ) dan Walaka. Kepada
mereka yang mengenal rahasia ini berarti menempati tingkatan “ HAYUN BII HIYAT
“.
2. Golongan Walaka
Golongan Walaka adalah golongan
masyarakat kesultanan Buthuuni yang berhak menduduki jabatan Sio Limbona
(Majelis Syara), Bonto Ogena dan Bonto (Syara Ogena), dan Moji pada Syara
Kidina/Agama. Namun demikian jika ditarik garis keturunannya ke atas, maka
kedua golongan yaitu Kaumu dan Walaka akan bersatu atau bertemu pada satu
silsilah garis keturunana yaitu dari La Baluwu dan Bulawambona (mereka inilah
yang disebut nenek). Anak Baluwu dengan Bolawambona, yaitu Bataraguru (Raja
III) inilah yang melahirkan golongan Kaomu/Lalaki, sedangkan saudara-saudara
Bataraguru yang sembilan orang dari anak La Baluwu dengan istrinya yang lain
menurunkan golongan Walaka. Dalam Golongan Walaka terbentuk pula Lepi atau
Pulanga Talutibana, yaitu :
1. Golongan Walaka Bonto Ogena
Labunta : La Kadiri
2. Golongan Walaka Bonto Ogena
iWantiro : La Tewa
3. Golongan Walaka Bonto Ogena I
Gama : Lakasturi
Perpisahan antara golongan Lalaki (
kaomu ) dan golongan Walaka secara stratifikasi kemasyarakatan ini diikat
kembali dalam mufakat Sara yang tersimpul dalam Undang Undang Martabat Tujuh
dan Sifat Dua Puluh, yaitu hubungan antara Sultan dan Siolimbona ( Sembilan
Bonto ) dalam struktur pemerintahan dalam bahasa adat yang berpedoman kepada
Kata Ulama : “ Man Arafa Nafsahu Wazirrn Fii Tis Atan Usuluhu Fakad Arafa
Sultanahu Fii Syalaasatin Akwami “ artinya : “ Barang siapa mengenal dirinya
Bonto di dalam sembilan Asal, maka sesungguhnya ia mengenal Sultan di dalam
Tiga Kamboru-mboru.
Dengan demikian dua golongan
stratifikasi masyarakat Buthuuni yaitu Kaomu dan Walaka tersebut memiliki hak
politik untuk duduk dalam pemerintahan.
3. Golongan Papara
Mereka yang tidak mempunyai garis
silsilah keturunan dari kedua golongan tersebut (Kaomu dan Walaka) disebut
sebagai golongan Papara. Mereka adalah penghuni daerah kekuasaan kerajaan yang
dikenal dengan Kadie dan Limbo. Sesuai asal usulnya, ada papara keturunan dari
masyarakat asli sebelum berdirinya kerajaan Buton dan ada pula yang datang dari
luar dan tunduk di bawah kekuasaan kerajaan/kesultanan dengan sukarela yang
disebut bante. Papara terdiri atas tiga bagian yaitu; Paraka adalah rakyat yang
menyerahkan diri pada Syara dengan tidak melalui perang, Talubinara adalah
rakyat yang berasal dari tawanan perang dan Kantinale adalah budak yang
menaklukan diri pada orang-orang yang berkuasa. Lapisan masyarakat terbawah
adalah Batua yang berasal atau diturunkan akibat ibu bapaknya yang budak. Namun
jika ibunya saja yang budak, maka keturunannya tidak masuk dalam keturunan ini,
tetapi mengikuti derajat bapaknya. Yang dikategorikan batua adalah orang yang
tunduk di bawah kekuasaan kerajaan dengan paksa dalam adat yang di sebut Bante,
musuh kerajaan yang kalah dalam peperangan, dan orang di luar kerajaan yang dirampas
dan di jual kepada golongan kaomu dan walaka.
Pembagian stratifikasi masyarakat
Buthuuni diambil dari tamsil atau teladan martabat tujuh yaitu martabat
ketuhanan dan martabat kehambaan. Dengan pemahaman bahwa dasar pembagian
stratifikasi masyarakat Buthuuni yaitu Kaomu, Walaka dan Papara tersebut adalah
mengambil analogi atau pemahaman bahwa, Nurullah ditamsilkan sebagai Kaomu, Nur
Muhammad ditamsilkan sebagai Walaka dan Nur Adam ditamsilkan sebagai Papara.
Dalam pemahaman, bahwa ketiganya adalah merupakan satu kesatuan, dimana
persatuan dari tiga golongan (Kaomu, Walaka, dan Papara) tersebut, harus
dipahami sebagai teladan perpaduan antara Zat (Nurullah), Sifat (Nur Muhammad)
dan Asma (Nur Adam), yang mengambil tamsil atau teladan atas tiga alam pertama
yang disebut dengan martabat ketuhanan yaitu Ahadiah (Zat/Nurullah) yang
ditamsilkan sebagai golongan Kaomu (lalaki), Wahadiah(Sifat/Nur Muhammad)
ditamsilkan sebagai golongan Walaka, dan Wahidiah (Asma/Nur Adam) ditamsilkan
sebagai golongan Papara.
Dengan pemahaman bahwa ketiganya
bukan menandakan perbedaan stratifikasi kelas atau golongan karena merupakan
satu kesatuan dari satu asal. Perbedaan itu tujuannya agar saling mengenal,
sesuai ketentuan zahir dunia yang merupakan teladan, sebagaimana sabda
Rasulullah dalam salah satu hadist kudsi “pandanglah yang banyak kepada yang
satu, dan pandangah yang satu pada yang banyak. Sehingga tiga pembagian
tersebut adalah teladan zahir semata dan bukan pada hakekatnya. Kemudian, Allah
berfirman bahwa semuli-mulianya di antara kamu ialah yang paling taqwa. Dengan
dasar ini maka tujuan pembagian tersebut adalah tidak membedakan derajatnya,
kesemuanya sama dimata Tuhan yang wajib menyembah Allah Swt, bukan untuk
menyembah sesama manusia.
Zahir kenyataan teladan tersebut
didukung dengan ketentuan adat istiadat dengan berpegang teguh pada falsafah
binci-binciki kuli yaitu pemisahan stratifikasi yang berdasar pada rasa
kemanusiaan. Stratifikasi ini disepakati secara musyawarah mufakat dengan
tujuan untuk memudahkan struktur pembagian tata kerja diantara masing-masing
golongan. Dalam adat disebut bersatu tidak berpadu, bercerai tidak berantara
atau bersatu akan binasa dan bercerai akan sia-sia. Adapun teladan atau tamsil
murtabat tujuh dalam stratifikasi masyarakat Buton adalah sebagai berikut :
a. Ahadiah, ditamsilkan sebagai
Kaumu/Lalaki
b. Wahadiah, ditamsilkan sebagai
Walaka
c. Wahidiah ditamsilkan sebagai
Papara
d. Alam Arwah ditamsilkan sebagai
Bante
e. Alam Misal, ditamsilkan sebagai
Kabutu
f. Alam Ajsam ditamsilkan sebagai
Kantinale
g. Alam Insan ditamsilkan sebagai
Paraka
Stratifikasi ini kemudian dipertegas
dengan faktor domisili, dengan faktor domisili inilah kemudian terbagi
lapisan-lapisan baru dalam tubuh kaomu dan walaka. Alasan domisili ini dibuat
adalah untuk mencegah konflik perebutan kekuasaan. Dalam hal ini, golongan
kaomu dan walaka dilihat dari domisilinya dapat dibedakan menjadi tiga bagian
yaitu :
a. Kaomu dan walaka yang menetap di
Keraton Wolio sebagai pusat kesultanan.
b. Kaomu dan walaka yang menetap di
daerah kekuasaan kesultanan dan tidak kembali ke Keraton pada saat pengumuman
konstitusi murtabat tujuh untuk peratama kalinya, yang diumumkan oleh Sapati La
Singga dan saat itupun, Sultan keenam Dayanu Ikhsanuddin, membagikan daerah
kekuasaan kepada para pembesar kaomu dan walaka. Bagi kaoumu dan walaka yang
tidak hadir pada pengumuman konstitusi murtabat tujuh, tersebut menyebabkan
derajat mereka tidak lagi menjadi kaomu tetapi mereka disebut dengan Analalaki
atau Limbo. Meskipun derajat mereka turun, tetapi mereka tidak menjadi golongan
papara ataupu batua.
c. Kaomu Yisambali, yaitu kaumu yang
lahir dari kaomu yang sudah menetap di Keraton dan beristri orang biasa atau
dari kadie. Jika mereka kawin dengan kaomu dan kembali menetap di Keraton,
mereka tetap dianggap sebagai kaomu. Sebaliknya, jika mereka tetap menetap di
kadie, hak mereka untuk menduduki kekuasaan hilang, seperti halnya kaomu yang
menetap di Keraton. Walaka yang sudah lama menetap di luar Keraton dan kawin
dengan orang kadie, kehilangan hak sebagai orang walaka yang menetap di
Keraton.
Berdasarkan domisilinya, papara
dapat juga dibagi menjadi :
a. Papara yang menghuni wilayah yang
berada di bawah kekuasaan langsung dari pemerintahan pusat. Wilayah mereka
inilah yang disebut kadie.
b. Papara yang menghuni wilayah yang
tunduk di bawah kekuasaan kerajaan atau kesultanan Buton tetapi memiliki hak
otonomi dan memiliki struktur pemerintahan sendiri, wilayah ini disebut Barata.
Stratifikasi masyarakat Buthuuni
sebagaimana di sebutkan diatas, baik atas dasar keturunan maupun domisili,
menyebabkan golongan kaumu dan walaka terbagi menjadi dua lapisan yaitu Kaomu
maupun Walaka yang dapat atau tidak dapat memegang jabatan atau kekuasaan dalam
kesultanan. Pembagian stratifikasi masyarakat tersebut terkait atau berhubungan
dengan struktur kekuasaan khususnya dalam proses pengisian jabatan-jabatan
tinggi kesultanan Buthuuni.
Dalam versi yang lain dikatakatan
bahwa pemisahan kaomu, walaka dan papara tersebut juga didasarkan pada
pemahaman Al Qur`an yaitu pada surat Q.S. Al-Baqarah 213 yang berarti “bahwa
manusia itu adalah umat yang satu”. Bertolak dari ayat tersebut, maka dalam
adat Buthuuni di kenal suatu ungkapan Poromu Inda Saangu, Pogaa Inda Koolotaa
yang artinya berkumpul tidak bersatu, bercerai tidak berantara. Sehingga
hubungan silaturrahim diantara ketiga golongan stratifikasi masyarakat tersebut
dianalogikan seperti bingkai rumah tangga dalam arti; Kaomu adalah anak, Walaka
adalah Bapak, dan Papara adalah saudara sesusuan. Hubungan stratifikasi
masyarakat Buthuuni tersebut, didalam pertautannya dianalogikan sebagai bingkai
rumah tangga dengan berdasarkan konsep kekeluargaan. Adapun dasar atau
kekeluragaan tersebut dianalogikan sebagai berikut:
a. Kaomu atau Lalaki menyebut Walaka
sebagai Amamiu dan Opuamiu (Bapak dan Nenek). Dalam hal ini nenek atau kakek
tersebut adalah Sio Limbona. Walaka menyebut Lalaki sebagai Anamiau dan Opuamiu
(anak dan cucu). Kaomu dan Walaka menganggap dalam hubungan kemasyarakatan
sbagai saudara dan sama halnya kaomu dan walaka menganggap Papara sebagai
saudara sesusuan yang di sebut Andimiu atau Akamiu (adik dan kakak).
b. Timbulnya ucapan Amamiau (Bapak)
untuk pertama kali adalah sejak pelantikan raja pertama Wa Kaa Kaa oleh Pata
Limbona yang menjadi orang tuanya, atau yang melahirkannya sebagai Raja.
Sedangkan timbulnya Opuamiu (nenek) ialah pada masa pelantikan Bulawambona
sebagai Raja ke kedua dan Bataraguru sebagai raja ketiga yang dilantik oleh Sio
Limbona (kakek atau nenek).
Sistim kekerabatan masyarakat
Buthuuni menganut sistim kekerabatan parental yaitu garis keturunan bapak, yang
terdiri atas keluarga batih dan keluarga luas. Keluaraga batih disebut dengan
safitinai, sedangkan keluarga luas disebut Leena Walaka atau Witinai artinya
yang berasal dari satu keturunan. Stratifikasi kekeluargaan dalam masyarakat
Buthuuni terdiri atas tujuh tingkatan yaitu :
a. Pinoama (saudara kandung
laki-laki dari pihak bapak atau Ibu)
b. Ponoina (saudara kandung permpuan
yang berasal dari pihak bapak atau ibu)
c. Tolida (anak dari saudara kandung
bapak atau ibu)
d. Topendua (sepupu dua kali)
e. Topentalu (sepupu tiga kali)
f. Mania (mertua)
g. Dawo(ipar)
Dari pemaparan stratifikasi
masyarakat Buthuuni tersebut, maka dapat diambil suatu gambaran tentang kuatnya
hubungan sinkretisme antara nilai-nilai tradisi dengan nilai-nilai agama Islam
khususnya tasawuf martabat tujuh. Stratifikasi masyarakat Buthuuni sangat erat
hubungannya dengan pembagian kekuasaan atau sistim politik yang dibangun dalam
ketatanegaraan kesultanan Buthuuni.
- Dzu Mady, Andhyka Ajha, Radot Forester and 4 others like this.
Facebook © 2011 · English (US)
No comments:
Post a Comment