PENAFSIRAN KONSEP PENGUASAAN NEGARA
BERDASARKAN PASAL 33 UUD 1945 DAN
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal yang
dikenal sebagai pasal ideologi dan politik ekonomi Indonesia , karena di
dalamnya memuat ketentuan tentang hak penguasaan negara atas:
- Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak; dan
- Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Salah satu hal yang masih menjadi
perdebatan mengenai Pasal 33 UUD 1945 adalah mengenai pengertian “hak
penguasaan negara” atau ada yang menyebutnya dengan “hak menguasai
negara”. Sebenarnya ketentuan yang dirumuskan dalam ayat (2) dan ayat (3)
UUD 1945 tersebut sama persisnya dengan apa yang dirumuskan dalam Pasal 38 ayat
(2) dan ayat (3) UUDS 1950. Berarti dalam hal ini, selama 60 tahun Indonesia
Merdeka, selama itu pula ruang perdebatan akan penafsiran Pasal 33 belum juga
memperoleh tafsiran yang seragam.
Sebelum kita memasuki mengenai
uraian tentang konsep penguasaan negara, maka ada baiknya kita tinjau terlebih
dahulu tentang beberapa teori kekuasaan negara, diantaranya yaitu:
- Menurut Van Vollenhoven negara sebagai organisasi tertinggi dari bangsa yang diberi kekuasaan untuk mengatur segala-galanya dan negara berdasarkan kedudukannya memiliki kewenangan untuk peraturan hukum.[1] Dalam hal ini kekuasaan negara selalu dihubungkan dengan teori kedaulatan (sovereignty atau souverenitet).
- Sedangkan menurut J.J. Rousseau menyebutkan bahwa kekuasaan negara sebagai suatu badan atau organisasi rakyat bersumber dari hasil perjanjian masyarakat (contract soscial) yang esensinya merupakan suatu bentuk kesatuan yang membela dan melindungi kekuasaan bersama, kekuasaan pribadi dan milik setiap individu.[2] Dalam hal ini pada hakikatnya kekuasaan bukan kedaulatan, namun kekuasaan negara itu juga bukanlah kekuasaan tanpa batas, sebab ada beberapa ketentuan hukum yang mengikat dirinya seperti hukum alam dan hukum Tuhan serta hukum yang umum pada semua bangsa yang dinamakan leges imperii.[3]
Sejalan dengan kedua teori di atas,
maka secara toritik kekuasaan negara atas sumber daya alam bersumber dari
rakyat yang dikenal dengan hak bangsa. Negara dalam hal ini, dipandang sebagai
yang memiliki karakter sebagai suatu lembaga masyarakat umum, sehingga
kepadanya diberikan wewenang atau kekuasaan untuk mengatur, mengurus dan
memelihara (mengawasi) pemanfaatan seluruh potensi sumber daya alam yang ada
dalam wilayahnya secara intensif.
Keterkaitan dengan hak penguasaan
negara dengan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat akan mewujudkan kewajiban
negara sebagai berikut:
- Segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang didapat (kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
- Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam atau di atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam tertentu yang dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat.
- Mencegah segala tindakan dari
pihak manapun yang akan menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau
akan kehilangan haknya dalam menikmati kekayaan alam.
Ketiga kewajiban di atas menjelaskan segala jaminan bagi tujuan hak penguasaan negara atas sumber daya alam yang sekaligus memberikan pemahaman bahwa dalam hak penguasaan itu, negara hanya melakukan pengurusan (bestuursdaad) dan pengolahan (beheersdaad), tidak untuk melakukan eigensdaad.
Berikut ini adalah beberapa rumusan
pengertian, makna, dan subtansi “dikuasi oleh negara” sebagai dasar untuk
mengkaji hak penguasaan negara antara lain yaitu:
- Mohammad Hatta merumuskan tentang pengertian dikuasai oleh negara adalah dikuasai oleh negara tidak berarti negara sendiri menjadi pengusaha, usahawan atau ordernemer. Lebih tepat dikatakan bahwa kekuasaan negara terdapat pada membuat peraturan guna kelancaran jalan ekonomi, peraturan yang melarang pula penghisapan orang yang lemah oleh orang yang bermodal.[4]
- Muhammad Yamin merumuskan pengertian dikuasai oleh negara termasuk mengatur dan/atau menyelenggarakan terutama untuk memperbaiki dan mempertinggi produksi dengan mengutamakan koperasi.[5]
- Panitia Keuangan dan Perekonomian bentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang diketuai oleh Mohammad Hatta merumuskan pengertian dikuasai oleh negara sebagai berikut:
(1)
Pemerintah harus menjadi pengawas dan pengatur dengan berpedoman keselamatan
rakyat; (2) Semakin besarnya perusahaan dan semakin banyaknya jumlah orang yang
menggantungkan dasar hidupnya karena semakin besar mestinya persertaan
pemerintah;(3) Tanah … haruslah di bawah kekuasaan negara; dan (4) Perusahaan
tambang yang besar … dijalankan sebagai usaha negara.[6]
- Bagir Manan merumuskan cakupan pengertian dikuasai oleh negara atau hak penguasaan negara, sebagai berikut:
(1)
Penguasaan semacam pemilikan oleh negara, artinya negara melalui Pemerintah
adalah satu-satunya pemegang wewenang untuk menentukan hak wewenang atasnya,
termasuk di sini bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya, (2)
Mengatur dan mengawasi penggunaan dan pemanfaatan, (3) Penyertaan modal dan
dalam bentuk perusahaan negara untuk usaha-usaha tertentu.[7]
Apabila kita kaitkan dengan konsep
negara kesejahteraan dan fungsi negara menurut W. Friedmann, maka dapat kita
temukan kajian kritis sebagai berikut:[8]
- Hak penguasaan negara yang dinyatakan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 memposisikan negara sebagai pengatur dan penjamin kesejahteraan rakyat. Fungsi negara itu tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, artinya melepaskan suatu bidang usaha atas sumber daya alam kepada koperasi, swasta harus disertai dengan bentuk-bentuk pengaturan dan pengawasan yang bersifat khusus, karena itu kewajiban mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tetap dapat dikendalikan oleh negara.
- Hak penguasaan negara dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, membenarkan negara untuk mengusahakan sumber daya alam yang berkaitan dengan public utilities dan public sevices. Atas dasar pertimbangan filosofis (semangat dasar dari perekonomian ialah usaha bersama dan kekeluargaan), strategis (kepnetingan umum), politik (mencegah monopoli dan oligopoli yang merugikan perekonomian negara), ekonomi (efesiensi dan efektifitas), dan demi kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan rumusan-rumusan di atas
ternyata mengandung beberapa unsur yang sama. Dari pemahaman berbagai persamaan
itu, maka rumusan pengertian hak penguasaan negara ialah negara melalui
pemerintah memiliki kewenangan untuk menentukan penggunaan, pemanfaatan dan hak
atas sumber daya alam dalam lingkup mengatur, mengurus, mengelola, dan
mengawasi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
Oleh karena itu terhadap sumber daya
alam yang penting bagi negara dan menguasai hajat orang banyak, karena
berkaitan dengan kemaslahatan umum (public utilities) dan pelayanan umum
(public services), harus dikuasai negara dan dijalankan oleh pemerintah.
Sebab sumber daya alam tersebut, harus dapat dinikmati oleh rakyat secara
berkeadilan, keterjangkauan, dalam suasana kemakmuran dan kesejahteraan umum
yang adil dan merata.
II.
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Penafsiran mengenai konsep
penguasaan negara terhadap Pasal 33 UUD 1945 juga dapat kita cermati dalam
Putusan MK mengenai kasus-kasus pengujian undang-undang terkait dengan sumber
daya alam. Mahkamah dalam pertimbangan hukum Putusan Perkara UU Migas, UU
Ketenagalistrikan, dan UU Sumber Daya Air (UU SDA) menafsirkan mengenai “hak
menguasai negara (HMN)” bukan dalam makna negara memiliki, tetapi dalam
pengertian bahwa negara hanya merumuskan kebijakan (beleid), melakukan
pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuursdaad),
melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoundendaad).
Dengan demikian, makna HMN terhadap
cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak,
serta terhadap sumber daya alam, tidak menafikan kemungkinan perorangan atau
swasta berperan, asalkan lima peranan negara/pemerintah sebagaimana tersebut di
atas masih tetap dipenuhi dan sepanjang pemerintah dan pemerintah daerah memang
tidak atau belum mampu melaksanakannya.
Seperti penafsiran Dr. Mohammad
Hatta yang kemudian diadopsi oleh Seminar Penjabaran Pasal 33 UUD 1945 pada
tahun 1977 yang menyatakan bahwa sektor usaha negara adalah untuk mengelola
ayat (2) dan (3) Pasal 33 UUD 1945 dan di bidang pembiayaan perusahaan negara
dibiayai oleh pemerintah, apabila pemerintah tidak mempunyai cukup dana untuk
membiayai dapat melakukan pinjaman dari dalam dan luar negeri, dan apabila
masih belum mencukupi bisa diselenggarakan bersama-sama dengan modal asing atas
dasar production sharing.[9]
Conditionally Constitutional: Catatan Bagi UU SDA
Khusus mengenai perkara judicial review UU SDA yang diajukan oleh sekelompok warga negara Indonesia dan lembaga swadaya masyarakat, terdapat suatu pertimbangan khusus di dalam putusannya yaitu ketentuan mengenai conditionally constitutional[10]. Ketentuan ini tentunya masih asing di telinga kita, karena memang secara ekplisit keberadaan ketentuan conditionally constitutional, yang merujuk pada perkembangan hukum dunia, baru pertama kali diterapkan di dunia hukum peradilan Indonesia .[11]
Conditionally Constitutional: Catatan Bagi UU SDA
Khusus mengenai perkara judicial review UU SDA yang diajukan oleh sekelompok warga negara Indonesia dan lembaga swadaya masyarakat, terdapat suatu pertimbangan khusus di dalam putusannya yaitu ketentuan mengenai conditionally constitutional[10]. Ketentuan ini tentunya masih asing di telinga kita, karena memang secara ekplisit keberadaan ketentuan conditionally constitutional, yang merujuk pada perkembangan hukum dunia, baru pertama kali diterapkan di dunia hukum peradilan Indonesia .[11]
Secara garis besar, ketentuan
tersebut mempunyai pengertian bahwa apabila undang-undang a quo, dalam hal ini
UU SDA, dalam pelaksanaannya ditafsirkan berbeda dengan apa yang ditafsirkan MK
dalam pertimbangan hukum putusanya, maka terhadap UU tersebut tidak tertutup
kemungkinan untuk dapat diajukan pengujian kembali. Dengan adanya pertimbangan
ini, sepertinya dapat kita artikan bahwa MK tidak saja menilai atas segala
sesuatu yang telah terjadi di masa lalu sebagai pertimbangan hukumnya, tetapi
juga mencoba untuk membuat pertimbangan sehingga mengeluarkan putusan yang
bervisi ke masa depan, khususnya dalam mengawal pelaksanaan UU tersebut agar
tetap sejalan dengan UUD 1945.[12]
Terlepas dari isi putusan Mahkamah
tentang SDA yang menyatakan bahwa permohonan pemohon ditolak, yang jelas
keberadaan ketentuan tersebut sempat menjadi perdebatan hangat. Toh sebagai
konsekuensi logis atas putusan MK dalam permohonan judicial review UU SDA
tersebut, berbagai peraturan pemerintah (PP) yang harus dan akan dibuat atas
perintah dari dan untuk melaksanakan UU SDA harus betul-betul memperhatikan
pertimbangan hukum Mahkamah dalam putusan dimaksud. Sebab apabila tidak, besar
kemungkinan akan terkena conditionally constitutional warning dari Mahkamah,
yang untuk kedua kalinya akan “berijtihad” (setelah menyatakan Pasal 50 UU MK
tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat) dengan membuka kemungkinan dapat
diajukannya kembali pengujian UU SDA dengan mengesampingkan ketentuan Pasal 60
UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan “Terhadap
materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji
tidak dapat dimohonkan pengujian kembali”.
Penulis
Pan
Mohamad Faiz, S.H.
No comments:
Post a Comment