Saturday 30 August 2014

Hukum Islam



1.      Sumber-Sumber hukum Islam
Kata-kata “Sumber Hukum Islam’ merupakan terjemahan dari lafal Mashâdir al-Ahkâm. Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam literatur hukum Islam klasik maupun ushul fikih klasik. Untuk menjelaskan arti ‘sumber hukum Islam’, periode klasik menggunakan istilah al-adillah al-Syar'iyyah, sedangkan yang dikehendaki dengan mashâdir al-Ahkâm yang digunakan oleh ulama kontemporer sekarang ini juga sesuai dengan istilah al-Adillah al-Syar’iyyah. Kemudian, yang dimaksud dengan Masâdir al-Ahkâm adalah dalil-dalil hukum syariat yang diambil (diistimbathkan) daripadanya untuk menentukan sebuah hukum
a.      Sumber Hukum Menurut Sunni
Mekanisme penentuan hukum dalam Islam harus berlandaskan pada sumber-sumber hukum yang telah dipaparkan ulama. Dalam penentuannya, di sana banyak terjadi perbedaan disebabkan banyak faktor. Salah satu faktor tersebut adalah sumber-sumber yang dijadikan landasan hukum tidak disepakati bersama, semisal yang terjadi antara Sunni dan Syi'ah. Oleh kalangan internal Sunni sendiri sumber-sumber ini ada yang disepakati dan ada yang masih diperdebatkan.
Ada dua sumber hukum yang disepakati ulama Sunni; Alquran dan Sunnah (Hadis nabi). Sedangkan perdebatan terjadi pada 11 sumber hukum; Sunnah, Ijmak, Qiyas, Ijtihad, Istihsan, Urf, Istishhab, Maslahah al-Mursalah, Syadd al-Dzara`i', Syar'u Man Qablana dan Qaul al-Shahabi. oalah
b.      Sumber Hukum Menurut Syi'ah
Ada empat sumber untuk dijadikan landasan dalam penentuan sebuah hukum menurut Syi'ah; Alquran, Sunnah, Ijmak, dan qiyas.
2.      Ahkamul Khamsah
Ahkamul khamsah (hukum yang lima) adalah hukum terhadap PERBUATAN yang menguraikan tentang wajib, haram, mandub/sunah, makruh dan mubah, penjelasannya sbb:

1. Melaksanakan

a. Perintah dengan qarinah (indikasi) bahwa perintah tersebut pasti (jazim) harus dijalankan dan adanya sanksi jika tidak menjalankannya, maka hukumnya WAJIB. Berpahala mengerjakannya dan berdosa meninggalkannya.
Misal: perintah shalat,

Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya shalat itu, sangat berat dilakukan kecuali orang-orang yang khusyu’ (Al-Baqarah 45).

Apakah yang membuat kalian masuk ke dalam Neraka Saqar?' Mereka menjawab, '(Karena) kami dulu tidak termasuk orang-orang yang mendirikan shalat' (Al-Muddatstsir 4).

Ada perintah shalat pada suatu ayat dan sanksi atau hukuman jika tidak menjalankan pada ayat lainnya.

b. Perintah dengan qarinah (indikasi) bahwa perintah tersebut tidak pasti harus dijalankan dan tidak adanya sanksi jika tidak menjalankannya, maka hukumnya MANDUB/SUNAH. Berpahala mengerjakannya dan tidak berdosa meninggalkannya.
Misal: perintah shalat tahajud,

Dan pada sebahagian malam hendaklah kamu shalat tahajud sebagai ibadah sunnah bagimu. Mudah-mudahan (dengan shalat tahajud itu) Tuhan mengangkat engkau ketempat yang terpuji (Al-Isra’ 79).

Tidak ada sanksi apa-apa jika tidak melaksanakan shalat tahajud, tetapi Allah swt menjanjikan akan mengangkat derajat orang-orang yang shalat tahajud.

2. Meninggalkan

a. Larangan dengan qarinah (indikasi) bahwa larangan tersebut pasti harus ditinggalkan dan adanya sanksi jika menjalankannya, maka hukumnya HARAM. Berpahala meninggalkannya dan berdosa mengerjakannya.
Misal: larangan berzina,

Sesungguhnya zina itu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang berakibat buruk (Al-Isra’ 32).

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka deralah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali dera (An-Nur 2).

Ada larangan melakukan zina dan sanksi baik didunia maupun diakhirat jika melakukannya.

b. Larangan dengan qarinah (indikasi) bahwa larangan tersebut tidak pasti harus ditinggalkan dan tidak adanya sanksi jika menjalankannya, maka hukumnya MAKRUH. Berpahala meninggalkannya dan tidak berdosa mengerjakannya.
Misal: melajang/membujang,

Barangsiapa yang mampu tetapi tidak menikah, maka ia tidak termasuk golonganku (Al-Hadits).

Bahwa sesungguhnya Nabi saw mencegah perbuatan tabattul (membujang) (Al-Hadits).

Rasulullah menganjurkan untuk tidak membujang tetapi Rasulullah membiarkan/mendiamkan beberapa sahabat membujang, termasuk Abu Hurairah. Artinya, af’al (perbuatan) Rasulullah membiarkan beberapa sahabat membujang.

3. Pilihan
Manusia diberikan pilihan untuk melaksanakannya atau meninggalkannya dan keduanya tidak berdosa dan tidak berpahala, hukumnya MUBAH.
Misal: bekerja setelah shalat Jum’at,

Apabila telah ditunaikanlah shalat maka bertebaranlah kamu dimuka bumi (Al-Jumu’ah 10).

Karena perbuatan ini dilarang sebelumnya, yakni bertebaran (bekerja) saat shalat Jum’at dan kemudian dibolehkan bekerja setelah melaksanakan kewajiban tersebut. Apakah kita mau tidur atau bekerja kembali setelah shalat Jum’at, hal itu terserah kita memilih yang mana.

Begitulah penjelasannya, betapa perlunya kita mengkaji Islam karena mungkin kita sangat disibukkan oleh segala sesuatu yang mubah sehingga tidak berarti apa-apa didepan Allah swt. Misalkan terlalu asyik menikmati TV, mengobrol, atau menyalurkan hobi lainnya sehingga melalaikan ibadah wajib apalagi yang sunnah.

Bisa jadi kesibukan-kesibukan tersebut merupakan hal yang mubah saja dan tidak ada nilai tambahnya (pahala) dihadapan Allah swt. Agar selamat dunia-akhirat saatnya kita untuk mengerjakan yang ada nilainya dihadapan Allah swt, dan agar tahu sesuatu yang bernilai itu kita perlu belajar Islam.
3.      Hukum Nikah
Dalam Islam, pernikahan merupakan perkara yang penting. Pada masa sebelum Islam, aturan dalam pernikahan tentu sangat berbeda dan mungkin bahkan lebih buruk ataupun dipandang rendah. Kedatangan Islam membawa perubahan agar manusia pada masa itu lebih baik keadaannya, hukumnya, adabnya, dan membawa berkah. Hubungan antar laki-laki dan perempuan pun diatur untuk menjaga fitrahnya. Hingga pada hubungan pernikahan, keluarga dan bertetangga.
Aturan dalam pernikahan ini telah membawa pengaruh yang besar pada perubahan peradaban sehingga tercipta masyarakat yang madani, sejahtera, adil dan makmur. Begitu pentingnya perkara pernikahan ini sehingga telah diatur dan dicontohkan dalam Al qur’an, hadits, fiqih, kisah-kisah, dll. Karena dari pernikahan ini merupakan awal dari pembinaan akhlak keluarga yang baik hingga akhlak pribadi, lingkungan tetangga, masyarakat dan negara.
a.      Pengertian / Definisi
Perkawinan atau nikah menurut bahasa ialah berkumpul dan bercampur. Menurut istilah ialah Ijab dan Qabul (‘aqad) yang menghalalkan persetubuhan antara lelaki dan perempuan yang diucapkan oleh kata-kata yang menunjukkan nikah, menurut peraturan yang ditentukan oleh Islam.
Perkataan Zawaj digunakan di dalam Al Qur’an bermaksud pasangan. Dalam penggunaannya perkataan ini bermaksud menjadikan manusia itu berpasang-pasangan, menghalalkan perkawinan dan mengharamkan zina. Persoalan pernikahan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu menarik untuk dibicarakan. Hingga perkembangan zaman sekarang inipun pernikahan menjadi sorotan masyarakat. Pernikahan bukanlah persoalan kecil dan sepele. ‘Aqad nikah (perkawinan) adalah sebagai suatu perjanjian yang kokoh dan suci.
b.      Pernikahan adalah Fitrah Kemanusiaan
Agama Islam adalah agama fitrah (suci) dan manusia diciptakan Allah Ta’ala cocok dengan fitrah ini, karena itu Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyuruh manusia menghadapkan diri ke agama fitrah agar tidak terjadi penyelewengan dan penyimpangan. Sehingga manusia berjalan diatas fitrahnya. Pernikahan adalah fitrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan untuk nikah, karena nikah merupakan Gharizah Insaniyah (naluri kemanusiaan).
c.       Anjuran Menikah dalam Islam
Penghargaan Islam terhadap ikatan pernikahan sangatlah besar. Diantara kita mungkin telah mengetahui bahwa pernikahan itu disebutkan sebanding dengan separuh agama. Hal ini disebutkan dalam hadits dari Anas r.a. berkata telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi”.
d.      Membujang Tidak Disukai dalam Islam
Anas radliyallahu ‘anhu berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk nikah dan melarang kami membujang dengan larangan yang keras. Dan beliau bersabda:
“Nikahilah perempuan yang banyak anak dan penyayang. Karena aku akan berbangga dengan banyaknya umatku dihadapan para Nabi kelak di hari kiamat.”
Kemudian dalam hadits lainnya ketika Rasulullah mengetahui bahwa diantara sahabat ada yang sangat taat dalam beribadah sehingga mereka puasa terus menerus, menjauhi wanita dan tidak menikah. Sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Benarkah kalian telah berkata begini dan begitu, sungguh demi Allah, sesungguhnya akulah yang paling takut dan taqwa di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku juga tidur dan aku juga mengawini perempuan. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku”.
e.       Hukum Pernikahan dalam Islam
Pernikahan dalam Islam seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa sangat dianjurkan dan hukumnya adalah mubah. Akan tetapi ada beberapa pengertian yang perlu kita pahami akan hukum seseorang apabila menikah / hendak menikah. Hukum pernikahan yang dijelaskan adalah sbb:
1.      Wajib. Kepada orang yang mempunyai nafsu yang kuat. Sehingga apabila dia tidak menikah bisa menjerumuskannya ke lembah maksiat (zina dan sebagainya) dan dia seorang yang mampu. Mampu ini bermaksud dia mampu membayar mahar dan menafkahi isterinya.
2.      Sunat. Kepada orang yang sudah mampu tetapi dia masih dapat menahan nafsunya.
3.      Mubah. Kepada orang yang tidak ada larangan baginya untuk menikah dan ini merupakan hukum asal pernikahan.
4.      Makruh. Kepada orang yang tidak mampu nafkah batin dan lahir tetapi dia juga tidak memberikan kemudaratan kepada isterinya.
5.      Haram. Kepada orang yang tidak mampu untuk memberi nafkah batin dan lahir, dia juga tidak berkuasa (lemah), tidak punya keinginan menikah, serta dikhawatirkan dapat/akan menganiaya isterinya jika menikah.
f.       Tujuan dari Pernikahan dalam Islam
1.      Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia. Perkawinan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang pernikahan). Bukan dengan cara yang berbeda seperti sekarang ini dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.
2.      Membentengi Ahlak Manusia. Islam memandang pernikahan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya”.
1.      Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami. Tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari’at Islam dalam rumah tangganya. Dalam Al Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq (perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah:
“Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang dhalim.”.“Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dikawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami yang pertama dan istri) untuk kawin kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui“.(Al Baqarah(2):290-230)
1.      Meningkatkan Ibadah Kepada Allah. Rumah tangga adalah salah satu peribadatan dan amal shalih di samping ibadah dan amal-amal shalih yang lain. Bahkan hubungan / bersetubuh termasuk ibadah (sedekah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah !. Mendengar sabda Rasulullah para shahabat keheranan dan bertanya : “Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala ?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab : “Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa .? Jawab para shahabat :”Ya, benar”. Beliau bersabda lagi : “Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala !”.
1.      Mencari Keturunan Yang Shalih. Tujuan pernikahan di antaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam. Dan yang terpenting lagi dalam pernikahan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar. Allah berfirman :
“Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?”.
g.      Tata Cara Pernikahan Dalam Islam
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara pernikahan berlandaskan Al Qur’an dan Sunnah, secara singkat adalah:
1.      Khitbah (Peminangan)
Seorang muslim yang akan menikahi seorang muslimah hendaknya ia meminang terlebih dahulu, karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain, dalam hal ini Islam melarang seorang muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain (Muttafaq ‘alaihi).
1.      Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi : Suka sama suka dari kedua calon mempelai dan Ijab Qabul.
Syarat Ijab
·Tidak boleh menggunakan perkataan sindiran
·Diucapkan oleh wali atau wakilnya
·Tidak diikatkan dengan tempo waktu
·Tidak secara taklik (tiada sebutan prasyarat sewaktu ijab dilafazkan)
Contoh bacaan Ijab: Wali/wakil Wali berkata kepada calon suami:”Aku nikahkan/kawinkan engkau dengan Delia binti Munif dengan maskawinnya sebanyak Rp. 300.000 tunai”.
Syarat qabul
·Ucapan sesuai dengan ucapan ijab
·Bukan perkataan sindiran
·Dilafazkan oleh calon suami atau wakilnya (atas sebab-sebab tertentu)
·Tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti mutaah (nikah kontrak)
·Tidak secara taklik (tiada sebutan prasyarat sewaktu qabul dilafazkan)
·Menyebut nama calon isteri
·Tidak diselangi dengan perkataan lain
Contoh sebuatan Qabul: Dilafazkan oleh calon suami:”Aku terima nikah/kawinannya dengan Delia binti Munifdengan maskawinnya sebanyak Rp. 300.000 tunai” ATAU “Aku terima Delia binti Munif sebagai isteriku”.
Mahar
Mahar (atau diistilahkan dengan mas kawin) adalah hak seorang wanita yang harus dibayar oleh laki-laki yang akan menikahinya. Mahar merupakan milik seorang isteri dan tidak boleh seorang pun mengambilnya, baik ayah maupun yang lainnya, kecuali dengan keridhaannya. Allah Berfirman:
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (Ar Nisaa’(4):4)
Jenis mahar
·Mahar Misil : Mahar yang dinilai berdasarkan mahar saudara perempuan yang telah menikah sebelumnya.
·Mahar Muthamma : Mahar yang dinilai berdasarkan keadaan, kedudukan, atau ditentukan oleh perempuan atau walinya.

Ada Wali
Yang dikatakan wali adalah orang yang paling dekat dengan si wanita. Dan orang paling berhak untuk menikahkan wanita merdeka adalah ayahnya, lalu kakeknya, dan seterusnya ke atas. Boleh juga anaknya dan cucunya, kemudian saudara seayah seibu, kemudian saudara seayah, kemudian paman.
Ibnu Baththal rahimahullaah berkata, “Mereka (para ulama) ikhtilaf tentang wali. Jumhur ulama di antaranya adalah Imam Malik, ats-Tsauri, al-Laits, Imam asy-Syafi’i, dan selainnya berkata, “Wali dalam pernikahan adalah ‘ashabah (dari pihak bapak), sedangkan paman dari saudara ibu, ayahnya ibu, dan saudara-saudara dari pihak ibu tidak memiliki hak wali.”
Syarat wali
·Islam, bukan kafir dan murtad
·Lelaki
·Baligh
·Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
·Bukan dalam ihram haji atau umrah
·Tidak Fasik
·Tidak cacat akal pikiran, terlalu tua dan sebagainya
·Merdeka
·Tidak ditahan kuasanya dari membelanjakan hartanya
Ada Saksi-saksi
Syarat-syarat saksi
·Sekurang-kurangnya dua orang
·Islam
·Berakal
·Baligh
·Lelaki
·Memahami isi lafaz ijab dan qabul
·Bisa mendengar, melihat dan berbicara
·Adil
·Merdeka
1.      Walimah
Walimatul ‘Urusy hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana mungkin dan dalam walimah hendaknya diundang orang-orang miskin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang mengundang orang-orang kaya saja berarti makanan itu sejelek-jelek makanan.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya” .
h.      Sebab-Sebab Diharamkannya Pernikahan
·Perempuan yang diharamkan menikah dengan lelaki disebabkan keturunannya (haram selamanya) dan ia dijelaskan dalam Al-Qur’an:
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An Nisaa’(4):23)
·Perempuan yang diharamkan menikah dengan lelaki disebabkan karena sepersusuan.
·Perempuan merupakan muhrim bagi lelaki karena pernikahannya.
·Perempuan yang merupakan anak saudara perempuan dari isteri dan keturunannya.
Sekian sedikit penjelasan tentang perkara pernikahan jika kita pelajari dari hukum Islam agama kita. Di akhir akan sebutkan ayat yang sangat tidak asing apabila berkaitan dengan pernikahan. Firman Allah Ta’ala dalam surat Ar Ruum (30):21
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
4.      Hukum Waris
Hukum waris Islam adalah hukum yang mengatur pembagian harta peninggalan seseorang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis. Surat dalam Al-Qur’an yang membahas tentang hukum waris adalah surat An-Nisa’ ayat 11-12. Berikut penjelasannya:
Yang menghalangi untuk mendapat warisan:
1. Berbeda agama
2. Pembunuhan, si pembunuh haram hukumnya mendapatkan warisan
3. Menjadi budak
4. Tidak jelas kematiannya
Yang berhak mendapat warisan:
a.      Ahli Waris laki-laki:
1. anak laki-laki
2. cucu laki-laki dari anak laki-laki
3. bapak dari yang meninggal
4. kakek dari yang meninggal
5. saudara laki-laki seibu sebapak dari yang meninggal
6. saudara laki-laki sebapak dari yang meninggal
7. saudara laki-laki seibu dari yang meninggal
8. keponakan laki-laki saudara laki-laki sekandung dari yang meninggal
9. keponakan laki-laki saudara laki-laki sebapak dari yang meninggal
10. Paman seibu sebapak dari yang meninggal
11. Paman sebapak dari yang meninggal
12. Sepupu dari yang meninggal seibu sebapak
13. Sepupu dari yang meninggal sebapak
14. Suami
15. Mu’tia/ Tuan
b.      Ahli Waris Perempuan:
1. Anak perempuan
2. Cucu perempuan dari anak laki-laki yang meninggal
3. Ibu dari yang meninggal
4. nenek dari yang meninggal
5. nenek dari bapak yang meninggal
6. saudara perempuan sekandung dari yang meninggal
7. saudara perempuan sebapak
8. saudara perempuan seibu
9. mu’tiqoh
5.      Beberapa Perikatan dalam Islam
I.   Konsep dan Perikatan Dalam Hukum Barat
A.  Konsep Perikatan
Dilihat dari segi sumbernya, perikatan itu ada yang lahir dari undang-undang dan ada yang lahir dari perjanjian serta sumber-sumber lain yang ditunjuk oleh undang-undang. Bagian hukum yang mengatur berbagai perikatan yang lahir dari bermacam-macam sumber dinamakan hukum perikatan (het verbintenissenrecht). Sedangkan hukum perjanjian (het overeenkomstenrecht) adalah salah satu bagian dari hukum perikatan, yaitu bagian hukum yang mengatur perikatan-perikatan yang lahir dari perjanjian saja.
Apabila dua orang atau pihak saling berjanji untuk melakukan atau memberikan sesuatu berarti masing-masing orang atau pihak mengikatkan diri kepada orang lain untuk melakukan atau memberikan sesuatu yang mereka perjanjikan, dengan demikian timbul ikatan serta hak dan kewajiban diantara keduanya. “Perikatan didefinisikan sebagai hubungan hukum menyangkut harta kekayaan antara dua pihak berdasarkan mana salah satu pihak dapat menuntut kepada pihak lain untuk memberikan, melakukan atau tidak melakukan sesuatu.”
B   Sumber-Sumber Perikatan
Sumber-sumber yang melahirkan perikatan meliputi:
1.      perjanjian
2.      undang-undang saja, perikatan yang lahir dari undang-undang saja adalah perikatan yang kewajiban di dalamnya langsung diperintahkan oleh undang-undang seperti hak dan kewajiban yang timbul antara ayah dan anak dalam hal nafkah, dsb.
3.      undang-undang yang berkaitan dengan perbuatan orang, yang dibedakan menjadi :
·perbuatan sesuai hukum (rechtmatige daad)
·perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad)
II. Istilah dan Konsep Perikatan dalam Hukum Islam
Ada dua istilah yang terdapat dalam Islam berkaitan dengan perikatan.
1.      Iltizam untuk menyebut perikatan (verbintenis).
Iltizam merupakan istilah baru untuk menyebut perikatan secara umum. Semula iltizam digunakan untuk menunjukkan perikatan yang timbul dari kehendak sepihak saja, hanya kadang-kadang saja dipakai untuk perikatan yang timbul dari perjanjian. Sekarang ini iltizam digunakan untuk menyebut perikatan secara keseluruhan. Pengertian iltizam dalam hukum Islam adalah terisinya dzimmah (tanggungan) seseorang atau suatu pihak dengan suatu hak yang wajib ditunaikannya kepada orang atau pihak lain. Menurut Mustafa Az Zarqa mendefinisikan perikatan (iltizam) sebagai keadaan dimana sesorang diwajibkan menurut hukkum syara’ untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu bagi kepentingan orang lain.
1.      Akad untuk menyebut perjanjian (overeenkomst) dan kontrak (contract) yang merupakan istilah yang telah lama digunakan.
Ada dua orientasi hukum perikatan:
1.      orientasi yang bercirikan objektivisme, yaitu perikatan lebih dilihat dari sisi objeknya yang berupa hak dan kewajiban yang timbul dalam perikatan. Dalam hukum objektivisme penggantian subjek atau pemindahan hak-hak perikatan dari satu subjek ke lainnya dapat dilakukan dengan mudah, karena yang menjadi fokus adalah objeknya.
2.      orientasi yang bercirikan subjektivisme, yaitu perikatan lebih banyak dilihat pada segi hubungan antar subjek perikatan yaitu debitur dan kreditur dari segi objek perikatan itu sendiri. Konsekuensinya adalah jika terjadi perikatan antara dua pihak atau lebih, maka tidak dapat dilakukan penggantian dengan pihak lain.
III. Macam-Macam Perikatan dalam Hukum Islam
Dilihat dari kaitannya dengan objek perikatan, secara garis besar ada empat macam perikatan:
1.      Perikatan Utang (al Iltizam bi ad Dain)
Kunci untuk memahami memahami konsep utang dalam hukum Islam adalah bahwa utang dinyatakan sebagai suatu yang terletak dalam dzimmah (tanggungan) sesorang. Sumber-sumber perikatan utang (al Iltizam bi ad Dain) dalam hukum Islam adalah sebagai berikut: yang pertama adalah akad, yang kedua adalah kehendak sepihak seperti wasiat, hibah, nazar yang objeknya adalah sejumlah uang atau benda, dan yang ketiga adalah perbuatan melawan hukum yaitu semua bentuk tanggungan (adh dhaman) yang timbul dari selain akad, seperti pencurian, perusakan yang objeknya adalah barang. Sumber yang keempat adalah pembayaran tanpa sebab, yang kelima adalah syara’ yaitu ketentuan syariah yang menetapkan kewajiban-kewajiban untuk melakukan pembayaran tertentu pada seseorang.
1.      Perikatan Benda (al Iltizam bi al ‘Ain)
Perikatan benda merupakan suatu hubungan hukum yang objeknya adalah benda tertentu untuk dipindahmilikkan baik bendanya, manfaatnya atau untuk diserahkan atau dititipkan kepada orang lain. Sumber-sumber perikatan benda adalah akad dan ini merupakan sumber paling penting dari perikatan benda, seperti jual beli atau sewa menyewa. Sumber lainnya adalah kehendak sepihak seperti wasiat, dan perbuatan melawan hukum juga dapat dijadikan sumber perikatan benda, seperti kasus gasab.
1.      Perikatan Kerja/ Melakukan Sesuatu (al Iltizam bi al ‘Amal)
Perikatan Kerja/ Melakukan Sesuatu (al Iltizam bi al ‘Amal) adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak untuk melakukan sesuatu. Sumbernya adalah akad istisna’ dan ijarah. Istisna’ adalah akad untuk melakukan sesuatu dimana bahan dan kerja dilakukan oleh pihak kedua atau pembuat. Sedangkan ijarah merupakan suatu akad atas beban yang objeknya adalah manfaat dan jasa. Akad ijarah ada dua yaitu ijarah al manafi (sewa menyewa) dan ijarah al a’mal (perjanjian kerja).
1.      Perikatan Menjamin (al Itizam bi at Tautsiq)
Perikatan menjamin merupakan suatu bentuk perikatan yang objeknya adalah menanggung (menjamin) suatu perikatan. Maksudnya pihak ketiga mengikatkan diri untuk menanggung perikatan pihak kedua terhadap pihak pertama.
Perikatan yang ditanggung ada tiga macam, yaitu perikatan utang, perikatan benda dan perikatan orang yang ditanggung dalam akad al kafalah bi an nafs.
IV. Sumber-Sumber Perikatan dalam Hukum Islam
Menurut para ahli hukum Islam modern, sumber-sumber perikatan dalam Islam (masadir al iltizam) ada lima macam :
1.      akad (al ‘aqad), akad dalam hukum Islam merupakan sumber penting bagi perikatan.
2.      Kehendak sepihak (al iradah al munfaridah)
3.      Perbuatan merugikan (al fi’l adh dharr)
4.      Perbuatan bermanfaat (al fi’l an nafi’)
5.      Syara’
V.  Dzimmah dalam Hukum Perikatan Islam
Para ahli hukum Islam menyatakan bahwa dzimmah adalah suatu wadah yang diandaikan adanya oleh hukum syariah pada orang (person) dan yang menampung hak-hak serta kewajiban-kewajiban.
Dzimmah pada orang mewujud selama ia hidup dan berakhir dengan kematiannya. Para ahli hukum Islam berbeda pendapat tentang berakhirnya dzimmah dengan kematian seseorang, apakah dzimmah-nya harus dihapus sama sekali ketika ia meninggal dunia ataukah dzimmah itu masih bertahan beberapa waktu setelah meninggalnya. Ahli-ahli hukum Hanafi berpendapat bahwa dzimmah karena kematian seseorang tidak musnah sama sekali tetapi tidak pula bertahan utuh, melainkan melemah atau rusak. Ahli hukum Maliki berpendapat bahwa dzimmah musnah dengan kematian seseorang. Ahli hukum Syafi’i berpendapat bahwa dzimmah tetap berlangsung utuh setelah meninggalnya seseorang sampai utang-utangnya dibayar. Sedangkan menurut madzab Hambali, sebagian ahli hukumnya sejalan dengan ahli hukum Maliki dan sebagian lagi sependapat dengan fukaha Syfi’iyah.
VI. ‘Ain dan Dain dalam Hukum Perikatan Islam
‘Ain adalah suatu hak kebendaan yang terkait langsung dengan benda tertentu, bukan benda lain. Dalam hukum Islam, ‘ain disamping mencakup hak kebendaan dala pengertian hukum barat meliputi pula hak-hak yang timbul dari perikatan yang objekya benda tertentu. Sedangkan dain adalah hak-hak yang tdak dikaitkan langsung kepada benda atau sesuatu tertentu, melainkan kepada sejumlah uang atau benda yang berada dalam tanggung jawab pihak debitur.
Contoh: apabila seseorang mempunyai koleksi sejumlah mata uang asing atau kuno, dan untuk keamanan ia menyerahkan ke sebuah bank dengan maksud untuk disimpan dalam safety box sebagai barang titipan yang pada suatu waktu akan diambil kembali fisik uangnya, maka perikatan orang tersebut dengan bank dan hak pemilik uang atas uangnya tersebut yang wajb dikembalikan fisiknya oleh bank adalah ‘ain. Akan tetapi jika ia menyimpan uang di bank dalam bentuk deposito misal selama satu bulan, maka haknya atas uang tersebut pada waktu jatuh tempo adalah dain.
Dari contoh diatas, maka dapat dtarik kesimpulan bahwa keterkaitannya dengan dzimmah, dapat ditegaskan bahwa dain adalah suatu yang hak yang objeknya sejumlah uang atau benda dan terkait dengan dzimmah debitur. Sedangkan ‘ain adaah hak yang objeknya adalah benda yang sudah ditentukan, bukan benda lainnya serta tidak terkait kepada dzimmah.

No comments:

Post a Comment