1.
Sumber-Sumber hukum Islam
Kata-kata “Sumber Hukum Islam’
merupakan terjemahan dari lafal Mashâdir al-Ahkâm. Kata-kata tersebut
tidak ditemukan dalam literatur hukum Islam klasik maupun ushul fikih klasik.
Untuk menjelaskan arti ‘sumber hukum Islam’, periode klasik menggunakan istilah
al-adillah al-Syar'iyyah, sedangkan yang dikehendaki dengan mashâdir
al-Ahkâm yang digunakan oleh ulama kontemporer sekarang ini juga sesuai
dengan istilah al-Adillah al-Syar’iyyah. Kemudian, yang dimaksud dengan Masâdir
al-Ahkâm adalah dalil-dalil hukum syariat yang diambil (diistimbathkan)
daripadanya untuk menentukan sebuah hukum
a. Sumber Hukum Menurut Sunni
Mekanisme penentuan hukum dalam Islam harus berlandaskan
pada sumber-sumber hukum yang telah dipaparkan ulama. Dalam penentuannya, di
sana banyak terjadi perbedaan disebabkan banyak faktor. Salah satu faktor
tersebut adalah sumber-sumber yang dijadikan landasan hukum tidak disepakati
bersama, semisal yang terjadi antara Sunni dan Syi'ah. Oleh kalangan internal Sunni
sendiri sumber-sumber ini ada yang disepakati dan ada yang masih diperdebatkan.
Ada dua sumber hukum yang disepakati ulama Sunni; Alquran dan Sunnah (Hadis nabi). Sedangkan perdebatan
terjadi pada 11 sumber hukum; Sunnah, Ijmak, Qiyas, Ijtihad, Istihsan, Urf, Istishhab, Maslahah
al-Mursalah, Syadd
al-Dzara`i', Syar'u
Man Qablana dan Qaul
al-Shahabi. oalah
b. Sumber Hukum Menurut Syi'ah
Ada empat sumber untuk dijadikan
landasan dalam penentuan sebuah hukum menurut Syi'ah; Alquran, Sunnah, Ijmak,
dan qiyas.
2.
Ahkamul Khamsah
Ahkamul
khamsah (hukum yang lima) adalah hukum terhadap PERBUATAN yang menguraikan
tentang wajib, haram, mandub/sunah, makruh dan mubah, penjelasannya sbb:
1. Melaksanakan
a. Perintah dengan qarinah (indikasi) bahwa perintah tersebut pasti (jazim) harus dijalankan dan adanya sanksi jika tidak menjalankannya, maka hukumnya WAJIB. Berpahala mengerjakannya dan berdosa meninggalkannya.
Misal: perintah shalat,
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya shalat itu, sangat berat dilakukan kecuali orang-orang yang khusyu’ (Al-Baqarah 45).
Apakah yang membuat kalian masuk ke dalam Neraka Saqar?' Mereka menjawab, '(Karena) kami dulu tidak termasuk orang-orang yang mendirikan shalat' (Al-Muddatstsir 4).
Ada perintah shalat pada suatu ayat dan sanksi atau hukuman jika tidak menjalankan pada ayat lainnya.
b. Perintah dengan qarinah (indikasi) bahwa perintah tersebut tidak pasti harus dijalankan dan tidak adanya sanksi jika tidak menjalankannya, maka hukumnya MANDUB/SUNAH. Berpahala mengerjakannya dan tidak berdosa meninggalkannya.
Misal: perintah shalat tahajud,
Dan pada sebahagian malam hendaklah kamu shalat tahajud sebagai ibadah sunnah bagimu. Mudah-mudahan (dengan shalat tahajud itu) Tuhan mengangkat engkau ketempat yang terpuji (Al-Isra’ 79).
Tidak ada sanksi apa-apa jika tidak melaksanakan shalat tahajud, tetapi Allah swt menjanjikan akan mengangkat derajat orang-orang yang shalat tahajud.
2. Meninggalkan
a. Larangan dengan qarinah (indikasi) bahwa larangan tersebut pasti harus ditinggalkan dan adanya sanksi jika menjalankannya, maka hukumnya HARAM. Berpahala meninggalkannya dan berdosa mengerjakannya.
Misal: larangan berzina,
Sesungguhnya zina itu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang berakibat buruk (Al-Isra’ 32).
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka deralah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali dera (An-Nur 2).
Ada larangan melakukan zina dan sanksi baik didunia maupun diakhirat jika melakukannya.
b. Larangan dengan qarinah (indikasi) bahwa larangan tersebut tidak pasti harus ditinggalkan dan tidak adanya sanksi jika menjalankannya, maka hukumnya MAKRUH. Berpahala meninggalkannya dan tidak berdosa mengerjakannya.
Misal: melajang/membujang,
Barangsiapa yang mampu tetapi tidak menikah, maka ia tidak termasuk golonganku (Al-Hadits).
Bahwa sesungguhnya Nabi saw mencegah perbuatan tabattul (membujang) (Al-Hadits).
Rasulullah menganjurkan untuk tidak membujang tetapi Rasulullah membiarkan/mendiamkan beberapa sahabat membujang, termasuk Abu Hurairah. Artinya, af’al (perbuatan) Rasulullah membiarkan beberapa sahabat membujang.
3. Pilihan
Manusia diberikan pilihan untuk melaksanakannya atau meninggalkannya dan keduanya tidak berdosa dan tidak berpahala, hukumnya MUBAH.
Misal: bekerja setelah shalat Jum’at,
Apabila telah ditunaikanlah shalat maka bertebaranlah kamu dimuka bumi (Al-Jumu’ah 10).
Karena perbuatan ini dilarang sebelumnya, yakni bertebaran (bekerja) saat shalat Jum’at dan kemudian dibolehkan bekerja setelah melaksanakan kewajiban tersebut. Apakah kita mau tidur atau bekerja kembali setelah shalat Jum’at, hal itu terserah kita memilih yang mana.
Begitulah penjelasannya, betapa perlunya kita mengkaji Islam karena mungkin kita sangat disibukkan oleh segala sesuatu yang mubah sehingga tidak berarti apa-apa didepan Allah swt. Misalkan terlalu asyik menikmati TV, mengobrol, atau menyalurkan hobi lainnya sehingga melalaikan ibadah wajib apalagi yang sunnah.
Bisa jadi kesibukan-kesibukan tersebut merupakan hal yang mubah saja dan tidak ada nilai tambahnya (pahala) dihadapan Allah swt. Agar selamat dunia-akhirat saatnya kita untuk mengerjakan yang ada nilainya dihadapan Allah swt, dan agar tahu sesuatu yang bernilai itu kita perlu belajar Islam.
1. Melaksanakan
a. Perintah dengan qarinah (indikasi) bahwa perintah tersebut pasti (jazim) harus dijalankan dan adanya sanksi jika tidak menjalankannya, maka hukumnya WAJIB. Berpahala mengerjakannya dan berdosa meninggalkannya.
Misal: perintah shalat,
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya shalat itu, sangat berat dilakukan kecuali orang-orang yang khusyu’ (Al-Baqarah 45).
Apakah yang membuat kalian masuk ke dalam Neraka Saqar?' Mereka menjawab, '(Karena) kami dulu tidak termasuk orang-orang yang mendirikan shalat' (Al-Muddatstsir 4).
Ada perintah shalat pada suatu ayat dan sanksi atau hukuman jika tidak menjalankan pada ayat lainnya.
b. Perintah dengan qarinah (indikasi) bahwa perintah tersebut tidak pasti harus dijalankan dan tidak adanya sanksi jika tidak menjalankannya, maka hukumnya MANDUB/SUNAH. Berpahala mengerjakannya dan tidak berdosa meninggalkannya.
Misal: perintah shalat tahajud,
Dan pada sebahagian malam hendaklah kamu shalat tahajud sebagai ibadah sunnah bagimu. Mudah-mudahan (dengan shalat tahajud itu) Tuhan mengangkat engkau ketempat yang terpuji (Al-Isra’ 79).
Tidak ada sanksi apa-apa jika tidak melaksanakan shalat tahajud, tetapi Allah swt menjanjikan akan mengangkat derajat orang-orang yang shalat tahajud.
2. Meninggalkan
a. Larangan dengan qarinah (indikasi) bahwa larangan tersebut pasti harus ditinggalkan dan adanya sanksi jika menjalankannya, maka hukumnya HARAM. Berpahala meninggalkannya dan berdosa mengerjakannya.
Misal: larangan berzina,
Sesungguhnya zina itu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang berakibat buruk (Al-Isra’ 32).
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka deralah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali dera (An-Nur 2).
Ada larangan melakukan zina dan sanksi baik didunia maupun diakhirat jika melakukannya.
b. Larangan dengan qarinah (indikasi) bahwa larangan tersebut tidak pasti harus ditinggalkan dan tidak adanya sanksi jika menjalankannya, maka hukumnya MAKRUH. Berpahala meninggalkannya dan tidak berdosa mengerjakannya.
Misal: melajang/membujang,
Barangsiapa yang mampu tetapi tidak menikah, maka ia tidak termasuk golonganku (Al-Hadits).
Bahwa sesungguhnya Nabi saw mencegah perbuatan tabattul (membujang) (Al-Hadits).
Rasulullah menganjurkan untuk tidak membujang tetapi Rasulullah membiarkan/mendiamkan beberapa sahabat membujang, termasuk Abu Hurairah. Artinya, af’al (perbuatan) Rasulullah membiarkan beberapa sahabat membujang.
3. Pilihan
Manusia diberikan pilihan untuk melaksanakannya atau meninggalkannya dan keduanya tidak berdosa dan tidak berpahala, hukumnya MUBAH.
Misal: bekerja setelah shalat Jum’at,
Apabila telah ditunaikanlah shalat maka bertebaranlah kamu dimuka bumi (Al-Jumu’ah 10).
Karena perbuatan ini dilarang sebelumnya, yakni bertebaran (bekerja) saat shalat Jum’at dan kemudian dibolehkan bekerja setelah melaksanakan kewajiban tersebut. Apakah kita mau tidur atau bekerja kembali setelah shalat Jum’at, hal itu terserah kita memilih yang mana.
Begitulah penjelasannya, betapa perlunya kita mengkaji Islam karena mungkin kita sangat disibukkan oleh segala sesuatu yang mubah sehingga tidak berarti apa-apa didepan Allah swt. Misalkan terlalu asyik menikmati TV, mengobrol, atau menyalurkan hobi lainnya sehingga melalaikan ibadah wajib apalagi yang sunnah.
Bisa jadi kesibukan-kesibukan tersebut merupakan hal yang mubah saja dan tidak ada nilai tambahnya (pahala) dihadapan Allah swt. Agar selamat dunia-akhirat saatnya kita untuk mengerjakan yang ada nilainya dihadapan Allah swt, dan agar tahu sesuatu yang bernilai itu kita perlu belajar Islam.
3.
Hukum
Nikah
Dalam Islam, pernikahan merupakan perkara yang penting. Pada
masa sebelum Islam, aturan dalam pernikahan tentu sangat berbeda dan mungkin
bahkan lebih buruk ataupun dipandang rendah. Kedatangan Islam membawa perubahan
agar manusia pada masa itu lebih baik keadaannya, hukumnya, adabnya, dan
membawa berkah. Hubungan antar laki-laki dan perempuan pun diatur untuk menjaga
fitrahnya. Hingga pada hubungan pernikahan, keluarga dan bertetangga.
Aturan dalam pernikahan ini telah membawa pengaruh yang
besar pada perubahan peradaban sehingga tercipta masyarakat yang madani,
sejahtera, adil dan makmur. Begitu pentingnya perkara pernikahan ini sehingga
telah diatur dan dicontohkan dalam Al qur’an, hadits, fiqih, kisah-kisah, dll.
Karena dari pernikahan ini merupakan awal dari pembinaan akhlak keluarga yang
baik hingga akhlak pribadi, lingkungan tetangga, masyarakat dan negara.
a.
Pengertian / Definisi
Perkawinan atau nikah menurut bahasa ialah berkumpul dan
bercampur. Menurut istilah ialah Ijab dan Qabul (‘aqad) yang menghalalkan
persetubuhan antara lelaki dan perempuan yang diucapkan oleh kata-kata yang
menunjukkan nikah, menurut peraturan yang ditentukan oleh Islam.
Perkataan Zawaj digunakan di dalam Al Qur’an bermaksud
pasangan. Dalam penggunaannya perkataan ini bermaksud menjadikan manusia itu
berpasang-pasangan, menghalalkan perkawinan dan mengharamkan zina. Persoalan
pernikahan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu menarik untuk
dibicarakan. Hingga perkembangan zaman sekarang inipun pernikahan menjadi sorotan
masyarakat. Pernikahan bukanlah persoalan kecil dan sepele. ‘Aqad nikah
(perkawinan) adalah sebagai suatu perjanjian yang kokoh dan suci.
b.
Pernikahan adalah Fitrah Kemanusiaan
Agama Islam adalah agama fitrah (suci) dan manusia
diciptakan Allah Ta’ala cocok dengan fitrah ini, karena itu Allah Subhanahu Wa
Ta’ala menyuruh manusia menghadapkan diri ke agama fitrah agar tidak terjadi
penyelewengan dan penyimpangan. Sehingga manusia berjalan diatas fitrahnya.
Pernikahan adalah fitrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan untuk
nikah, karena nikah merupakan Gharizah Insaniyah (naluri kemanusiaan).
c.
Anjuran Menikah dalam Islam
Penghargaan Islam terhadap ikatan pernikahan sangatlah
besar. Diantara kita mungkin telah mengetahui bahwa pernikahan itu disebutkan
sebanding dengan separuh agama. Hal ini disebutkan dalam hadits dari Anas r.a.
berkata telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh
dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang
separuhnya lagi”.
d.
Membujang Tidak Disukai dalam Islam
Anas radliyallahu ‘anhu berkata Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk nikah dan melarang kami membujang
dengan larangan yang keras. Dan beliau bersabda:
“Nikahilah perempuan yang banyak anak dan penyayang. Karena
aku akan berbangga dengan banyaknya umatku dihadapan para Nabi kelak di hari
kiamat.”
Kemudian dalam hadits lainnya ketika Rasulullah mengetahui
bahwa diantara sahabat ada yang sangat taat dalam beribadah sehingga mereka
puasa terus menerus, menjauhi wanita dan tidak menikah. Sehingga Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Benarkah kalian telah berkata begini dan begitu, sungguh
demi Allah, sesungguhnya akulah yang paling takut dan taqwa di antara kalian.
Akan tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku juga tidur dan aku
juga mengawini perempuan. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka
ia tidak termasuk golonganku”.
e.
Hukum Pernikahan dalam Islam
Pernikahan dalam Islam seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya bahwa sangat dianjurkan dan hukumnya adalah mubah.
Akan tetapi ada beberapa pengertian yang perlu kita pahami akan hukum seseorang
apabila menikah / hendak menikah. Hukum pernikahan yang dijelaskan adalah sbb:
1.
Wajib. Kepada orang yang mempunyai nafsu yang kuat. Sehingga
apabila dia tidak menikah bisa menjerumuskannya ke lembah maksiat (zina dan
sebagainya) dan dia seorang yang mampu. Mampu ini bermaksud dia mampu membayar
mahar dan menafkahi isterinya.
2.
Sunat. Kepada orang yang sudah mampu tetapi dia masih dapat
menahan nafsunya.
3.
Mubah. Kepada orang yang tidak ada larangan baginya untuk menikah
dan ini merupakan hukum asal pernikahan.
4.
Makruh. Kepada orang yang tidak mampu nafkah batin dan lahir
tetapi dia juga tidak memberikan kemudaratan kepada isterinya.
5.
Haram. Kepada orang yang tidak mampu untuk memberi nafkah batin
dan lahir, dia juga tidak berkuasa (lemah), tidak punya keinginan menikah,
serta dikhawatirkan dapat/akan menganiaya isterinya jika menikah.
f.
Tujuan dari Pernikahan dalam Islam
1.
Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia. Perkawinan adalah fitrah
manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan aqad
nikah (melalui jenjang pernikahan). Bukan dengan cara yang berbeda seperti
sekarang ini dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan
lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.
2.
Membentengi Ahlak Manusia. Islam memandang pernikahan dan
pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif untuk memelihara pemuda dan pemudi
dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian
berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan
pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak
mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi
dirinya”.
1.
Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami. Tujuan yang luhur dari
pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari’at Islam dalam rumah
tangganya. Dalam Al Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq
(perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas
Allah, sebagaimana firman Allah:
“Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh
rujuk lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak
halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada
mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum
Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh
istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu
melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah
orang-orang yang dhalim.”.“Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq
yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dikawin dengan
suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak
ada dosa bagi keduanya (bekas suami yang pertama dan istri) untuk kawin
kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
Itulah hukum-hukum Allah, diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui“.(Al
Baqarah(2):290-230)
1.
Meningkatkan Ibadah Kepada Allah. Rumah tangga adalah salah
satu peribadatan dan amal shalih di samping ibadah dan amal-amal shalih yang
lain. Bahkan hubungan / bersetubuh termasuk ibadah (sedekah). Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk
sedekah !. Mendengar sabda Rasulullah para shahabat keheranan dan bertanya :
“Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap
istrinya akan mendapat pahala ?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab :
“Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain
istrinya, bukankah mereka berdosa .? Jawab para shahabat :”Ya, benar”. Beliau
bersabda lagi : “Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat
yang halal), mereka akan memperoleh pahala !”.
1.
Mencari Keturunan Yang Shalih. Tujuan pernikahan di
antaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam. Dan yang
terpenting lagi dalam pernikahan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi
berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak
yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.Tentunya keturunan yang shalih tidak akan
diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar. Allah berfirman :
“Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan
suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan
cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman
kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?”.
g.
Tata Cara Pernikahan Dalam Islam
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara
pernikahan berlandaskan Al Qur’an dan Sunnah, secara singkat adalah:
1.
Khitbah (Peminangan)
Seorang muslim yang akan menikahi seorang muslimah hendaknya
ia meminang terlebih dahulu, karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang
lain, dalam hal ini Islam melarang seorang muslim meminang wanita yang sedang
dipinang oleh orang lain (Muttafaq ‘alaihi).
1.
Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang
harus dipenuhi : Suka sama suka dari kedua calon mempelai dan Ijab Qabul.
Syarat Ijab
·Tidak boleh menggunakan perkataan
sindiran
·Diucapkan oleh wali atau wakilnya
·Tidak diikatkan dengan tempo waktu
·Tidak secara taklik (tiada sebutan
prasyarat sewaktu ijab dilafazkan)
Contoh bacaan Ijab: Wali/wakil Wali berkata kepada calon
suami:”Aku nikahkan/kawinkan engkau dengan Delia binti Munif dengan maskawinnya
sebanyak Rp. 300.000 tunai”.
Syarat qabul
Syarat qabul
·Ucapan sesuai dengan ucapan ijab
·Bukan perkataan sindiran
·Dilafazkan oleh calon suami atau
wakilnya (atas sebab-sebab tertentu)
·Tidak diikatkan dengan tempo waktu
seperti mutaah (nikah kontrak)
·Tidak secara taklik (tiada sebutan
prasyarat sewaktu qabul dilafazkan)
·Menyebut nama calon isteri
·Tidak diselangi dengan perkataan
lain
Contoh sebuatan Qabul: Dilafazkan oleh calon suami:”Aku terima
nikah/kawinannya dengan Delia binti Munifdengan maskawinnya sebanyak Rp.
300.000 tunai” ATAU “Aku terima Delia binti Munif sebagai isteriku”.
Mahar
Mahar (atau diistilahkan dengan mas kawin) adalah hak
seorang wanita yang harus dibayar oleh laki-laki yang akan menikahinya. Mahar
merupakan milik seorang isteri dan tidak boleh seorang pun mengambilnya, baik
ayah maupun yang lainnya, kecuali dengan keridhaannya. Allah Berfirman:
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (Ar Nisaa’(4):4)
Jenis mahar
·Mahar Misil : Mahar yang dinilai
berdasarkan mahar saudara perempuan yang telah menikah sebelumnya.
·Mahar Muthamma : Mahar yang dinilai
berdasarkan keadaan, kedudukan, atau ditentukan oleh perempuan atau walinya.
Ada Wali
Yang dikatakan wali adalah orang yang paling dekat dengan si
wanita. Dan orang paling berhak untuk menikahkan wanita merdeka adalah ayahnya,
lalu kakeknya, dan seterusnya ke atas. Boleh juga anaknya dan cucunya, kemudian
saudara seayah seibu, kemudian saudara seayah, kemudian paman.
Ibnu Baththal rahimahullaah berkata, “Mereka (para ulama)
ikhtilaf tentang wali. Jumhur ulama di antaranya adalah Imam Malik, ats-Tsauri,
al-Laits, Imam asy-Syafi’i, dan selainnya berkata, “Wali dalam pernikahan
adalah ‘ashabah (dari pihak bapak), sedangkan paman dari saudara ibu, ayahnya
ibu, dan saudara-saudara dari pihak ibu tidak memiliki hak wali.”
Syarat wali
·Islam, bukan kafir dan murtad
·Lelaki
·Baligh
·Dengan kerelaan sendiri dan bukan
paksaan
·Bukan dalam ihram haji atau umrah
·Tidak Fasik
·Tidak cacat akal pikiran, terlalu
tua dan sebagainya
·Merdeka
·Tidak ditahan kuasanya dari
membelanjakan hartanya
Ada Saksi-saksi
Syarat-syarat saksi
·Sekurang-kurangnya dua orang
·Islam
·Berakal
·Baligh
·Lelaki
·Memahami isi lafaz ijab dan qabul
·Bisa mendengar, melihat dan
berbicara
·Adil
·Merdeka
1.
Walimah
Walimatul ‘Urusy hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana
mungkin dan dalam walimah hendaknya diundang orang-orang miskin. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang mengundang orang-orang kaya saja
berarti makanan itu sejelek-jelek makanan.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang
hanya mengundang orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-orang
miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka
ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya” .
h.
Sebab-Sebab Diharamkannya Pernikahan
·Perempuan yang diharamkan menikah
dengan lelaki disebabkan keturunannya (haram selamanya) dan ia dijelaskan dalam
Al-Qur’an:
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu
yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;
ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari
isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu
itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi
pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An
Nisaa’(4):23)
·Perempuan yang diharamkan menikah
dengan lelaki disebabkan karena sepersusuan.
·Perempuan merupakan muhrim bagi
lelaki karena pernikahannya.
·Perempuan yang merupakan anak
saudara perempuan dari isteri dan keturunannya.
Sekian sedikit penjelasan tentang perkara pernikahan jika
kita pelajari dari hukum Islam agama kita. Di akhir akan sebutkan ayat yang
sangat tidak asing apabila berkaitan dengan pernikahan. Firman Allah Ta’ala
dalam surat Ar Ruum (30):21
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir.”
4.
Hukum
Waris
Hukum waris Islam adalah hukum yang
mengatur pembagian harta peninggalan seseorang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis.
Surat dalam Al-Qur’an yang membahas tentang hukum waris adalah surat An-Nisa’
ayat 11-12. Berikut penjelasannya:
Yang menghalangi untuk mendapat warisan:
1. Berbeda agama
2. Pembunuhan, si pembunuh haram hukumnya mendapatkan warisan
3. Menjadi budak
4. Tidak jelas kematiannya
1. Berbeda agama
2. Pembunuhan, si pembunuh haram hukumnya mendapatkan warisan
3. Menjadi budak
4. Tidak jelas kematiannya
Yang berhak mendapat warisan:
a.
Ahli Waris laki-laki:
1. anak laki-laki
2. cucu laki-laki dari anak laki-laki
3. bapak dari yang meninggal
4. kakek dari yang meninggal
5. saudara laki-laki seibu sebapak dari yang meninggal
6. saudara laki-laki sebapak dari yang meninggal
7. saudara laki-laki seibu dari yang meninggal
8. keponakan laki-laki saudara laki-laki sekandung dari yang meninggal
9. keponakan laki-laki saudara laki-laki sebapak dari yang meninggal
10. Paman seibu sebapak dari yang meninggal
11. Paman sebapak dari yang meninggal
12. Sepupu dari yang meninggal seibu sebapak
13. Sepupu dari yang meninggal sebapak
14. Suami
15. Mu’tia/ Tuan
1. anak laki-laki
2. cucu laki-laki dari anak laki-laki
3. bapak dari yang meninggal
4. kakek dari yang meninggal
5. saudara laki-laki seibu sebapak dari yang meninggal
6. saudara laki-laki sebapak dari yang meninggal
7. saudara laki-laki seibu dari yang meninggal
8. keponakan laki-laki saudara laki-laki sekandung dari yang meninggal
9. keponakan laki-laki saudara laki-laki sebapak dari yang meninggal
10. Paman seibu sebapak dari yang meninggal
11. Paman sebapak dari yang meninggal
12. Sepupu dari yang meninggal seibu sebapak
13. Sepupu dari yang meninggal sebapak
14. Suami
15. Mu’tia/ Tuan
b.
Ahli Waris Perempuan:
1. Anak perempuan
2. Cucu perempuan dari anak laki-laki yang meninggal
3. Ibu dari yang meninggal
4. nenek dari yang meninggal
5. nenek dari bapak yang meninggal
6. saudara perempuan sekandung dari yang meninggal
7. saudara perempuan sebapak
8. saudara perempuan seibu
9. mu’tiqoh
1. Anak perempuan
2. Cucu perempuan dari anak laki-laki yang meninggal
3. Ibu dari yang meninggal
4. nenek dari yang meninggal
5. nenek dari bapak yang meninggal
6. saudara perempuan sekandung dari yang meninggal
7. saudara perempuan sebapak
8. saudara perempuan seibu
9. mu’tiqoh
5.
Beberapa
Perikatan dalam Islam
I. Konsep dan Perikatan Dalam Hukum Barat
A. Konsep Perikatan
Dilihat dari segi sumbernya, perikatan itu ada yang lahir
dari undang-undang dan ada yang lahir dari perjanjian serta sumber-sumber lain
yang ditunjuk oleh undang-undang. Bagian hukum yang mengatur berbagai perikatan
yang lahir dari bermacam-macam sumber dinamakan hukum perikatan (het
verbintenissenrecht). Sedangkan hukum perjanjian (het
overeenkomstenrecht) adalah salah satu bagian dari hukum perikatan, yaitu
bagian hukum yang mengatur perikatan-perikatan yang lahir dari perjanjian saja.
Apabila dua orang atau pihak saling berjanji untuk melakukan
atau memberikan sesuatu berarti masing-masing orang atau pihak mengikatkan diri
kepada orang lain untuk melakukan atau memberikan sesuatu yang mereka
perjanjikan, dengan demikian timbul ikatan serta hak dan kewajiban diantara
keduanya. “Perikatan didefinisikan sebagai hubungan hukum menyangkut harta
kekayaan antara dua pihak berdasarkan mana salah satu pihak dapat menuntut
kepada pihak lain untuk memberikan, melakukan atau tidak melakukan sesuatu.”
B Sumber-Sumber Perikatan
Sumber-sumber yang melahirkan perikatan meliputi:
1.
perjanjian
2.
undang-undang saja, perikatan yang lahir dari undang-undang
saja adalah perikatan yang kewajiban di dalamnya langsung diperintahkan oleh
undang-undang seperti hak dan kewajiban yang timbul antara ayah dan anak dalam
hal nafkah, dsb.
3.
undang-undang yang berkaitan dengan perbuatan orang, yang
dibedakan menjadi :
·perbuatan sesuai hukum (rechtmatige
daad)
·perbuatan melawan hukum (onrechtmatige
daad)
II. Istilah dan Konsep Perikatan dalam Hukum Islam
Ada dua istilah yang terdapat dalam Islam berkaitan dengan
perikatan.
1.
Iltizam untuk menyebut perikatan (verbintenis).
Iltizam merupakan istilah baru untuk menyebut perikatan secara
umum. Semula iltizam digunakan untuk menunjukkan perikatan yang timbul
dari kehendak sepihak saja, hanya kadang-kadang saja dipakai untuk perikatan
yang timbul dari perjanjian. Sekarang ini iltizam digunakan untuk
menyebut perikatan secara keseluruhan. Pengertian iltizam dalam hukum Islam
adalah terisinya dzimmah (tanggungan) seseorang atau suatu pihak dengan
suatu hak yang wajib ditunaikannya kepada orang atau pihak lain. Menurut
Mustafa Az Zarqa mendefinisikan perikatan (iltizam) sebagai keadaan
dimana sesorang diwajibkan menurut hukkum syara’ untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu bagi kepentingan orang lain.
1.
Akad untuk menyebut perjanjian (overeenkomst) dan
kontrak (contract) yang merupakan istilah yang telah lama digunakan.
Ada dua orientasi hukum perikatan:
1.
orientasi yang bercirikan objektivisme, yaitu perikatan
lebih dilihat dari sisi objeknya yang berupa hak dan kewajiban yang timbul
dalam perikatan. Dalam hukum objektivisme penggantian subjek atau pemindahan
hak-hak perikatan dari satu subjek ke lainnya dapat dilakukan dengan mudah,
karena yang menjadi fokus adalah objeknya.
2.
orientasi yang bercirikan subjektivisme, yaitu perikatan
lebih banyak dilihat pada segi hubungan antar subjek perikatan yaitu debitur
dan kreditur dari segi objek perikatan itu sendiri. Konsekuensinya adalah jika
terjadi perikatan antara dua pihak atau lebih, maka tidak dapat dilakukan
penggantian dengan pihak lain.
III. Macam-Macam Perikatan dalam Hukum Islam
Dilihat dari kaitannya dengan objek perikatan, secara garis
besar ada empat macam perikatan:
1.
Perikatan Utang (al Iltizam bi ad Dain)
Kunci untuk memahami memahami konsep utang dalam hukum Islam
adalah bahwa utang dinyatakan sebagai suatu yang terletak dalam dzimmah
(tanggungan) sesorang. Sumber-sumber perikatan utang (al Iltizam bi ad Dain)
dalam hukum Islam adalah sebagai berikut: yang pertama adalah akad, yang
kedua adalah kehendak sepihak seperti wasiat, hibah, nazar yang objeknya adalah
sejumlah uang atau benda, dan yang ketiga adalah perbuatan melawan hukum yaitu
semua bentuk tanggungan (adh dhaman) yang timbul dari selain akad,
seperti pencurian, perusakan yang objeknya adalah barang. Sumber yang keempat
adalah pembayaran tanpa sebab, yang kelima adalah syara’ yaitu ketentuan
syariah yang menetapkan kewajiban-kewajiban untuk melakukan pembayaran tertentu
pada seseorang.
1.
Perikatan Benda (al Iltizam bi al ‘Ain)
Perikatan benda merupakan suatu hubungan hukum yang objeknya
adalah benda tertentu untuk dipindahmilikkan baik bendanya, manfaatnya atau
untuk diserahkan atau dititipkan kepada orang lain. Sumber-sumber perikatan
benda adalah akad dan ini merupakan sumber paling penting dari perikatan benda,
seperti jual beli atau sewa menyewa. Sumber lainnya adalah kehendak sepihak
seperti wasiat, dan perbuatan melawan hukum juga dapat dijadikan sumber
perikatan benda, seperti kasus gasab.
1.
Perikatan Kerja/ Melakukan Sesuatu (al Iltizam bi al
‘Amal)
Perikatan Kerja/ Melakukan Sesuatu (al Iltizam bi al
‘Amal) adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak untuk melakukan
sesuatu. Sumbernya adalah akad istisna’ dan ijarah. Istisna’
adalah akad untuk melakukan sesuatu dimana bahan dan kerja dilakukan oleh pihak
kedua atau pembuat. Sedangkan ijarah merupakan suatu akad atas beban yang
objeknya adalah manfaat dan jasa. Akad ijarah ada dua yaitu ijarah al manafi
(sewa menyewa) dan ijarah al a’mal (perjanjian kerja).
1.
Perikatan Menjamin (al Itizam bi at Tautsiq)
Perikatan menjamin merupakan suatu bentuk perikatan yang
objeknya adalah menanggung (menjamin) suatu perikatan. Maksudnya pihak ketiga
mengikatkan diri untuk menanggung perikatan pihak kedua terhadap pihak pertama.
Perikatan yang ditanggung ada tiga macam, yaitu perikatan
utang, perikatan benda dan perikatan orang yang ditanggung dalam akad al
kafalah bi an nafs.
IV. Sumber-Sumber Perikatan dalam Hukum Islam
Menurut para ahli hukum Islam modern, sumber-sumber
perikatan dalam Islam (masadir al iltizam) ada lima macam :
1.
akad (al ‘aqad), akad dalam hukum Islam merupakan
sumber penting bagi perikatan.
2.
Kehendak sepihak (al iradah al munfaridah)
3.
Perbuatan merugikan (al fi’l adh dharr)
4.
Perbuatan bermanfaat (al fi’l an nafi’)
5.
Syara’
V. Dzimmah dalam Hukum Perikatan Islam
Para ahli hukum Islam menyatakan bahwa dzimmah adalah
suatu wadah yang diandaikan adanya oleh hukum syariah pada orang (person)
dan yang menampung hak-hak serta kewajiban-kewajiban.
Dzimmah pada orang mewujud selama ia hidup dan berakhir dengan
kematiannya. Para ahli hukum Islam berbeda pendapat tentang berakhirnya dzimmah
dengan kematian seseorang, apakah dzimmah-nya harus dihapus sama sekali
ketika ia meninggal dunia ataukah dzimmah itu masih bertahan beberapa waktu
setelah meninggalnya. Ahli-ahli hukum Hanafi berpendapat bahwa dzimmah
karena kematian seseorang tidak musnah sama sekali tetapi tidak pula bertahan
utuh, melainkan melemah atau rusak. Ahli hukum Maliki berpendapat bahwa dzimmah
musnah dengan kematian seseorang. Ahli hukum Syafi’i berpendapat bahwa dzimmah
tetap berlangsung utuh setelah meninggalnya seseorang sampai utang-utangnya
dibayar. Sedangkan menurut madzab Hambali, sebagian ahli hukumnya sejalan
dengan ahli hukum Maliki dan sebagian lagi sependapat dengan fukaha Syfi’iyah.
VI. ‘Ain dan Dain dalam Hukum Perikatan Islam
‘Ain adalah suatu hak kebendaan yang terkait langsung dengan
benda tertentu, bukan benda lain. Dalam hukum Islam, ‘ain disamping
mencakup hak kebendaan dala pengertian hukum barat meliputi pula hak-hak yang
timbul dari perikatan yang objekya benda tertentu. Sedangkan dain adalah
hak-hak yang tdak dikaitkan langsung kepada benda atau sesuatu tertentu,
melainkan kepada sejumlah uang atau benda yang berada dalam tanggung jawab
pihak debitur.
Contoh: apabila seseorang mempunyai koleksi sejumlah mata
uang asing atau kuno, dan untuk keamanan ia menyerahkan ke sebuah bank dengan
maksud untuk disimpan dalam safety box sebagai barang titipan yang pada
suatu waktu akan diambil kembali fisik uangnya, maka perikatan orang tersebut
dengan bank dan hak pemilik uang atas uangnya tersebut yang wajb dikembalikan
fisiknya oleh bank adalah ‘ain. Akan tetapi jika ia menyimpan uang di
bank dalam bentuk deposito misal selama satu bulan, maka haknya atas uang
tersebut pada waktu jatuh tempo adalah dain.
Dari contoh diatas, maka dapat dtarik kesimpulan bahwa
keterkaitannya dengan dzimmah, dapat ditegaskan bahwa dain adalah
suatu yang hak yang objeknya sejumlah uang atau benda dan terkait dengan dzimmah
debitur. Sedangkan ‘ain adaah hak yang objeknya adalah benda yang sudah
ditentukan, bukan benda lainnya serta tidak terkait kepada dzimmah.
No comments:
Post a Comment